Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Antara Tiga Bukit

18 September 2025   10:45 Diperbarui: 18 September 2025   13:33 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen: Antara Tiga Bukit (Sumber: Unsplash)

"Dalam kabut yang menelan tiga bukit, seorang pendaki terombang-ambing antara bisikan, jeritan, dan tawa—hingga kenyataan pahit terungkap."

Kabut jatuh seperti tirai yang terlalu berat untuk ditahan pagi. Pendaki membuka mata dengan rasa asing yang menempel di tubuhnya. Bau tanah basah menyusup ke hidung, bercampur dengan dingin yang menusuk sampai ke tulang. Ia tidak ingat bagaimana sampai di sana. Hanya tergeletak, dengan napas pendek-pendek, di sebuah lembah yang tidak dikenalnya.

Ia bangkit perlahan. Kaki masih gemetar. Sekitar hanya putih kabut, menutup pandangan sejauh apa pun. Lembah itu sunyi. Terlalu sunyi, sampai suara detak jantungnya terdengar seperti ketukan palu di ruang kosong.

Lalu samar muncul tiga bayangan besar di kejauhan. Bukit. Satu di depan, satu di sebelah kanan, satu di arah belakang. Seperti tiga penjaga yang berbaris di hadapan pendaki. Bentuknya tak jelas, hanya siluet gelap yang berdiri di balik kabut.

Pendaki menatap lama. Ada perasaan aneh, seperti bukit-bukit itu sedang menatap balik.

Angin pelan membawa suara pertama. Bisikan halus dari arah bukit depan. Bisikan itu berlapis-lapis, seperti orang ramai berbicara dalam satu telinga. "Pulanglah... jangan lupa sandalmu putus... kucingmu mati di belakang rumah..." Suara-suara itu adalah masa lalu, kecil dan remeh, tapi terasa menusuk.

Pendaki menutup telinga, tapi bisikan itu menembus kulit, langsung ke kepala.

Belum reda, suara kedua datang dari arah bukit sebelah kanan. Kali ini bukan bisikan, melainkan jeritan panjang. "Engkau akan menjadi arca... kau presiden tapi tanpa wajah... kau patung di jalan yang dilupakan..." Masa depan yang mustahil, menjerit dengan nada sumbang.

Pendaki mundur. Dadanya sesak.

Dan dari bukit belakang, terdengar tawa. Tawa panjang, pecah, berulang, seperti orang asing menonton sandiwara yang tak pernah dimengerti. Tawa itu tak mengolok, tak juga ramah. Ia hanya ada, memenuhi lembah dengan gema yang aneh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun