Ada yang lebih nyaring dari bel sekolah pagi itu. Bukan teriakan anak-anak atau derit gerbang besi yang didorong buru-buru oleh Pak Satpam, tapi tawa kecil yang meletik dari belakang ruang kelas 3B. Tawa yang ringan tapi menyisakan semburat asin di dada Bu Aminah—seorang guru Agama Islam di SD Negeri tersebut.
Dia tidak segera masuk kelas. Sepasang kakinya berhenti tepat di depan pintu, tertahan oleh percakapan yang terdengar lebih nyaring dari yang seharusnya.
"Aku liat kemarin, si Kevin bawa telur ke gereja!" suara itu milik Dika, anak yang suka menyembunyikan penghapus temannya lalu pura-pura ikut mencari.
"Iya, katanya buat pesta Paskah. Tapi aneh ya, masa Tuhan bangkit kayak zombie?" sahut Rio, diiringi tawa yang serempak, ceria, dan—tanpa mereka sadari—mengiris.
Seorang anak lain, perempuan dengan pita merah muda dan suara yang lebih pelan, menimpali, "Aku juga nggak ngerti, ngapain juga ngerayain orang disalib. Serem, tau."
Tawa kembali meletup. Ringan. Tak berdosa. Dan entah kenapa, menusuk jauh ke dalam.
Bu Aminah tidak langsung masuk. Ia berdiri mematung, menyentuh bingkai pintu yang catnya mulai mengelupas. Matanya tak berkedip, seakan mencoba membekukan waktu agar bisa memahami apa yang baru saja ia dengar.
Ia tahu, anak-anak tidak sepenuhnya salah. Mereka hanya mengulang apa yang mungkin mereka dengar dari rumah, dari kakak-kakaknya, atau dari status-status lucu yang tak sepenuhnya lucu di grup keluarga.
Yang salah bukan ketidaktahuan itu. Yang salah adalah membiarkannya tumbuh liar seperti ilalang yang tak pernah dibabat—hingga suatu hari menyambar api, dan menjadi perusak.
Kelas 3B seperti biasanya: bangku kayu yang berderit tiap kali ditarik, papan tulis hijau tua dengan sisa-sisa kapur pelajaran kemarin, dan kalender besar bergambar Masjid Nabawi yang digantung sedikit miring.