Ia tidak ingin merasa terlalu cepat puas. Tapi hari ini, ia tahu, sebuah benih telah ditanam.
Sebelum pulang, Rio mendekatinya dengan langkah ragu-ragu. Ia menyodorkan secarik kertas.
"Bu, ini saya gambar. Gambar... kayak yang Ibu bilang tadi."
Bu Aminah menerima kertas itu. Gambar sederhana: seseorang berdiri dengan dua tangan terbuka, dan di sekitarnya ada hati-hati kecil beterbangan. Di bawahnya tertulis dengan huruf yang belum rapi:
Kasih = Pengorbanan + Tidak Marah-Marah
Ia tertawa pelan, bukan karena lucu, tapi karena hangat. Kadang, pengertian datang dari tangan kecil yang menggambar lebih dulu, sebelum ia bisa benar-benar menjelaskan semuanya.
"Bagus sekali, Rio," katanya.
Rio tersenyum bangga, lalu lari menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu keluar kelas.
Bu Aminah kembali menatap papan tulis. Kata PENGORBANAN masih di sana. Ia belum menghapusnya. Mungkin... belum saatnya.
Angin kembali masuk lewat jendela. Tapi kali ini, ia membawa sesuatu yang berbeda: semacam harapan yang pelan-pelan menyusup ke ruang yang kemarin dipenuhi ketidaktahuan.
Dan besok, pikir Bu Aminah, mungkin waktunya membahas satu kata lagi: MENGHARGAI.