"Terombang-ambing di tengah ganasnya Laut Banda selama 65 hari, Onggo harus bertahan melawan bayang-bayang maut yang terus mengintai."
Fajar baru saja menyentuh langit Desa Haria ketika Onggo berdiri di tepi pantai. Kaki telanjangnya tenggelam sedikit ke dalam pasir lembab, dingin oleh embun dan ombak yang semalaman mencumbunya. Di hadapannya, Laut Banda masih tampak tenang, membentang dalam bayangan ungu kebiruan yang perlahan memudar seiring matahari merayap naik.
Ia menarik napas dalam, membiarkan aroma garam, kayu lapuk, dan sisa asap dapur bercampur di paru-parunya. Setiap pagi di desa ini selalu sama: suara kokok ayam dari halaman rumah-rumah kayu, dentingan piring yang dicuci para ibu, tawa anak-anak yang berlarian sebelum sekolah. Kehidupan sederhana, berputar dalam siklus yang sudah dikenalnya sejak kecil.
Tapi laut? Laut selalu berbeda.
Ia mengalihkan pandangan ke perahu jonsonnya—kayu tua dipadukan dengan serat fiber yang lambungnya telah lapuk termakan garam, tetapi masih setia menemaninya mengarungi gelombang. Mesin tempel yang sudah diperbaikinya berkali-kali duduk di buritan, menunggu disentakkan nyawanya. Di dalam perahu, jaring-jaring kusut bertumpuk, jerigen bensin tertata, dan sekotak kecil berisi nasi bungkus serta air minum terselip di bawah bangku kayu.
Onggo menepuk lambung perahu itu pelan. "Hari ini kita cari rezeki lagi, kawan," gumamnya.
Seorang nelayan tua lewat, tangannya memanggul jaring basah. Ia berhenti sejenak, memandang Onggo dengan tatapan penuh arti.
"Awas musim timur, Onggo," katanya.
Angin berhembus perlahan, menyibak rambut tipis di kepala Onggo. Ia hanya tersenyum samar, mengangkat dagunya sedikit.
"Aku sudah hidup lebih lama dengan laut daripada di darat, Bapak," jawabnya.