"Di sebuah rumah tua yang membisu, seorang gadis menemukan bahwa bau waktu yang membeku bisa membangkitkan suara-suara yang lama terkubur dalam diam."
Udara di rumah nenek terasa seperti dinding tak kasat mata yang menghambat napas. Bukan dingin seperti angin sore yang sopan mengetuk jendela, tapi dingin yang tinggal di sela-sela tulang. Seperti jejak basah yang tak kunjung kering. Bahkan matahari enggan masuk lewat tirai renda yang menguning di jendela ruang tamu.
Setiap sudut rumah itu serupa bisikan. Lantai parket tua yang gemeretak meski tak ada yang lewat, jam dinding antik yang berdetak pelan namun pasti—suara yang terdengar seperti langkah kaki kecil yang tak sabar.
Dindingnya penuh kenangan: foto-foto hitam putih yang senyumnya tampak memudar, menggantung dengan kemiringan ganjil. Kalender tua bergambar gunung bersalju tetap menunjukkan bulan April tahun 1997, seolah waktu tersesat di rumah ini.
Aku tinggal di sini sejak dua bulan lalu. Bukan karena ingin, tapi karena harus. Ibu bilang aku butuh “tempat yang tenang.” Lalu ia pergi, bersama pria baru yang lebih pandai tersenyum daripada bertanya kabar.
Nenek menyambutku dengan pelukan hangat, tapi kehangatan itu cepat sekali hilang, seperti teh yang dibiarkan terlalu lama di cangkir.
Setiap harinya, rutinitas berjalan seperti mantra: sarapan pukul tujuh, makan siang pukul dua belas, makan malam pukul enam. Habis itu, nenek akan menghilang di balik suara televisi kecil dan aku kembali ke kamarku yang menghadap taman belakang.
Taman itu sunyi, penuh bunga kenanga yang mekar seperti diam yang tak sempat diucapkan. Tapi bukan itu yang membuatku resah.
Setiap malam, tepat pukul dua lewat lima belas, suara itu datang. Seperti kursi yang diseret pelan di lantai kayu. Kadang disusul suara napas berat—bukan dengkuran, bukan pula hembusan angin. Suara hidup yang tidak seharusnya ada.
Dan suara itu selalu berasal dari kamar paling ujung lorong. Kamar yang pintunya tidak pernah terbuka. Kamar yang tidak pernah diketuk.