Reza mengetik cepat di depan layar komputernya. Jarum jam dinding menunjukkan pukul 23.49. Kantor sudah lama sepi, hanya suara AC yang berdengung pelan di kejauhan. Di luar jendela, lampu kota berkedip seperti kunang-kunang raksasa, tetapi di dalam sini, hanya ada kesunyian yang berat. Ia menghela napas, meregangkan bahunya yang terasa kaku. Satu halaman lagi, lalu ia bisa pulang.
Namun, ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
Sejak beberapa menit lalu, ia merasa diawasi. Bukan oleh kamera keamanan, bukan oleh siapa pun. Ada sesuatu yang mengintip dari sudut matanya. Setiap kali ia menoleh, tidak ada apa-apa. Hanya deretan meja kerja kosong dengan kursi-kursi yang diam membisu.
Reza menggeleng pelan, mencoba mengabaikan perasaan itu. Ia menyimpan dokumen terakhir, meraih tas, dan berjalan menuju lift. Langkahnya menggema di lantai marmer, terlalu nyaring untuk ruang yang seharusnya kosong. Semakin dekat ke lift, semakin terasa sunyi. Bahkan dengungan AC pun terasa menurun, seakan ruangan itu menahan napas.
Denting lift berbunyi. Pintu terbuka perlahan.
Biasanya, ada musik instrumental yang mengalun lembut di dalam lift. Malam ini, hanya ada kesunyian. Reza melangkah masuk, menekan tombol ke lantai dasar. Pintu menutup, dan lift mulai bergerak turun.
Saat itulah, sesuatu berubah.
Udara di dalam lift terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang merambat di kulitnya. Bau aneh menyelinap di udara—bukan bau parfum atau ruangan kantor, tetapi sesuatu yang asing, samar seperti kain basah yang sudah lama tak dikeringkan. Ia merapatkan jaketnya, matanya terpaku pada angka yang berkurang di layar indikator.
11... 10... 9...
Tiba-tiba, lift berguncang. Lampu berkedip satu kali, dua kali, sebelum kembali stabil. Reza menghela napas lega, tetapi jantungnya masih berdebar kencang. Ia menatap pintu lift yang tertutup rapat, berharap perjalanan ini segera selesai.