Pernahkah kita merasa hidup ini seperti balapan teknologi? Hari ini kita baru saja belajar fitur baru di ponsel, besok sudah muncul update lagi yang membuat kita bingung. Begitu juga dalam dunia kerja: skill yang kemarin terasa mumpuni, tiba-tiba terasa usang hanya dalam hitungan bulan. Di sisi lain, ada kebiasaan lama yang masih kita bawa, meski sebenarnya tidak lagi relevan dengan kenyataan sekarang.
Di tengah perubahan yang begitu cepat, muncul sebuah filosofi yang menggelitik pikiran: learn -- unlearn -- relearn. Tiga kata sederhana yang pertama kali dipopulerkan futurolog Alvin Toffler ini seakan mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya soal mengumpulkan ilmu, tetapi juga berani melepaskan yang usang, lalu membuka diri untuk belajar kembali dengan cara yang baru.
Fenomena ini tidak hanya berlaku di ruang kelas atau kantor. Ia juga hadir dalam keseharian: cara kita berkomunikasi, bekerja, bahkan memahami spiritualitas. Dunia terus bergerak, dan kalau kita bersikeras memegang cara lama, bisa jadi kita hanya akan tertinggal di peron ketika kereta perubahan sudah melaju kencang.
Asal-usul Filosofi
Filosofi learn -- unlearn -- relearn pertama kali mencuat dari gagasan seorang futurolog asal Amerika, Alvin Toffler. Ia dikenal lewat buku Future Shock (1970), sebuah karya yang membongkar dampak perubahan sosial dan teknologi yang begitu cepat sehingga manusia sering mengalami "kebingungan budaya" atau culture shock.
Toffler punya pandangan unik tentang buta huruf di abad modern. Menurutnya, "The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn." Kalimat ini menjadi kutipan abadi yang sering dijadikan pengingat di dunia pendidikan, manajemen, hingga kepemimpinan.
Kenapa Toffler menekankan tiga tahap itu? Karena ia melihat dunia tidak lagi bergerak dalam garis lurus. Revolusi industri berganti jadi revolusi informasi, dan kini kita hidup di tengah gelombang teknologi digital yang membuat pengetahuan cepat sekali usang. Hal yang kita anggap penting hari ini, bisa jadi besok hanya jadi catatan sejarah.
Dalam konteks itu, Toffler ingin menekankan bahwa kecakapan paling berharga bukan sekadar mengetahui, melainkan beradaptasi. Ia mengajarkan bahwa kemampuan untuk menerima ilmu baru (learn), berani melepaskan cara pikir lama (unlearn), dan kemudian memperbarui diri dengan sudut pandang baru (relearn) adalah fondasi utama agar manusia bisa tetap relevan.
Makna Tiga Tahap (Learn, Unlearn, Relearn)
Sekilas, tiga kata ini terdengar sederhana. Namun jika kita dalami, setiap tahap menyimpan filosofi yang dalam dan menuntut keberanian mental.
1. Learn -- Belajar Hal Baru
Tahap ini paling mudah dipahami: kita menyerap ilmu, keterampilan, dan wawasan. Belajar bahasa asing, mempelajari teknologi digital, atau membaca buku baru adalah bentuk nyata dari proses learn. Dalam kehidupan sehari-hari, proses ini ibarat mengisi gelas kosong dengan air segar.