Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Delusi

19 Februari 2025   22:38 Diperbarui: 22 Maret 2025   20:55 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrator: Angga Aditya Atmadilaga/KOMPAS)

Langit sore itu masih biru, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang tampak berbeda. Mungkin karena Dinda berdiri di depan rumah Reno, mengenakan gaun putih yang biasa ia pakai saat perayaan ulang tahun mereka. Rambutnya tergerai, senyum tipis di wajahnya. Reno melangkah ke arahnya, meraih tangannya, dan merasakan kehangatan yang begitu akrab.

"Kau datang," bisiknya.

Dinda mengangguk. Ia selalu datang, setiap sore, tepat setelah burung-burung kembali ke sarang.

Di dalam rumah, ibunya memperhatikan Reno dari balik jendela, matanya berkaca-kaca. Ia tidak melihat Dinda di sana. Hanya putranya yang berdiri sendirian, menatap kosong ke udara, seolah bercakap-cakap dengan seseorang yang tak terlihat.

Sepuluh tahun yang lalu, Dinda benar-benar ada di sana. Mereka duduk di bawah pohon jambu, berbicara tentang masa depan. Reno ingat betul hari ketika Dinda berkata, "Aku ingin menikah denganmu, tetapi ayahku sudah memilihkan orang lain."

Hari itu, dunia Reno runtuh.

Dinda menangis, meminta maaf berulang kali. Reno menggenggam tangannya begitu erat hingga sendinya memutih, berusaha mencari cara agar segalanya tidak berakhir seperti ini. Tetapi dunia tidak peduli pada cinta dua manusia.

Sebulan kemudian, Dinda menikah. Reno tidak datang ke pernikahannya. Ia mengunci diri di kamar, merobek semua foto mereka, lalu duduk di sudut ruangan, menunggu sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu.

Dan begitulah, ia menunggu, hingga sepuluh tahun berlalu.

Hari-hari Reno terasa seperti serpihan kaca yang berserakan di lantai—tajam, tak beraturan, dan berkilau dalam kegelapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun