Langit sore itu masih biru, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang tampak berbeda. Mungkin karena Dinda berdiri di depan rumah Reno, mengenakan gaun putih yang biasa ia pakai saat perayaan ulang tahun mereka. Rambutnya tergerai, senyum tipis di wajahnya. Reno melangkah ke arahnya, meraih tangannya, dan merasakan kehangatan yang begitu akrab.
"Kau datang," bisiknya.
Dinda mengangguk. Ia selalu datang, setiap sore, tepat setelah burung-burung kembali ke sarang.
Di dalam rumah, ibunya memperhatikan Reno dari balik jendela, matanya berkaca-kaca. Ia tidak melihat Dinda di sana. Hanya putranya yang berdiri sendirian, menatap kosong ke udara, seolah bercakap-cakap dengan seseorang yang tak terlihat.
Sepuluh tahun yang lalu, Dinda benar-benar ada di sana. Mereka duduk di bawah pohon jambu, berbicara tentang masa depan. Reno ingat betul hari ketika Dinda berkata, "Aku ingin menikah denganmu, tetapi ayahku sudah memilihkan orang lain."
Hari itu, dunia Reno runtuh.
Dinda menangis, meminta maaf berulang kali. Reno menggenggam tangannya begitu erat hingga sendinya memutih, berusaha mencari cara agar segalanya tidak berakhir seperti ini. Tetapi dunia tidak peduli pada cinta dua manusia.
Sebulan kemudian, Dinda menikah. Reno tidak datang ke pernikahannya. Ia mengunci diri di kamar, merobek semua foto mereka, lalu duduk di sudut ruangan, menunggu sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu.
Dan begitulah, ia menunggu, hingga sepuluh tahun berlalu.
Hari-hari Reno terasa seperti serpihan kaca yang berserakan di lantai—tajam, tak beraturan, dan berkilau dalam kegelapan.