Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, dalam unggahan di Instagram miliknya pada 16 Oktober 2025 menyatakan bahwa PSSI dan Coach Patrick "sepakat untuk mengakhiri kerja sama."
Erick juga menegaskan akan melakukan evaluasi menyeluruh sekaligus menentukan arah baru dengan tiga target besar: menembus peringkat 100 besar FIFA, tampil di Piala Asia 2027, dan melangkah ke Piala Dunia 2030.
Bagi sebagian publik, keputusan itu terasa sebagai langkah berani. Namun bagi saya, pernyataan Erick justru membuka kembali perdebatan lama: apakah kita sedang benar-benar membangun sepak bola, atau sekadar mengelola ekspektasi publik?
Pergantian yang Sudah Terbaca
Kabar pemutusan kerja sama dengan Patrick bukanlah kejutan. Dalam beberapa bulan terakhir, arah permainan tim nasional terlihat kabur: struktur permainan yang diharapkan rapi justru sering kehilangan dinamika.
Patrick datang membawa pendekatan Eropa yang modern, tetapi gagal menemukan keseimbangan antara taktik dan emosi pemain Indonesia yang terbiasa bermain dengan insting dan semangat kolektif.
Patrick tidak sepenuhnya gagal. Ia membawa disiplin, keteraturan, dan pendekatan analitik. Namun, sistem sepak bola Indonesia belum siap menampung idealismenya.
Di negeri yang liga domestiknya kerap berhenti karena urusan non-teknis, kehadiran pelatih yang berpikir sistemik justru sering terjebak dalam kekacauan yang tak ia pahami.
Ambisi Besar di Atas Fondasi Rapuh
Erick menyebut target "masuk 100 besar FIFA" dan "menuju Piala Dunia 2030." Ambisi itu layak diapresiasi. Sepak bola membutuhkan visi yang berani. Tetapi seperti bangunan, ambisi besar memerlukan fondasi yang kuat.