"Ketika bayangan dalam cermin mulai bergerak sendiri, ia harus menghadapi kebenaran paling menakutkan: dirinya bukanlah satu-satunya yang hidup dalam tubuh itu."
Aksara
Di sebuah kamar kecil yang diterangi lampu meja berwarna kuning redup, Aksara menekuk jemarinya di atas buku catatan yang terbuka. Pensil di tangannya bergerak pelan, menciptakan garis-garis huruf yang rapi, seolah setiap kata harus terukir sempurna sebelum dunia boleh membacanya.
Hujan turun sejak sore tadi, membuat kaca jendela dipenuhi titik-titik air yang melunturkan cahaya lampu jalan di luar. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi buku-buku tua yang tersusun di rak kayu, memberikan rasa nyaman yang hanya bisa ia temukan di tempat ini—di ruangannya sendiri, dunia kecilnya yang tak tersentuh.
Di luar, kehidupan terus berjalan. Suara kendaraan, langkah kaki terburu-buru di trotoar, dan sayup-sayup tawa dari warung kopi di ujung jalan. Tapi semua itu terasa jauh bagi Aksara. Ia lebih memilih diam, tenggelam dalam kata-kata yang ia tuliskan sendiri.
Tapi diam bukan berarti tenang.
Kadang-kadang, keheningan justru lebih bising daripada keramaian.
Aksara bukan orang yang mudah berbaur.
Di kampus, ia selalu memilih duduk di barisan belakang, menjauh dari pusat perhatian. Ia mendengarkan, mencatat, lalu pergi sebelum ada yang sempat mengajaknya berbicara.
Di perpustakaan, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam, menelusuri halaman demi halaman tanpa gangguan. Buku-buku adalah temannya, tempat ia menemukan dunia yang lebih masuk akal daripada kenyataan.
Tapi di rumah, semuanya berbeda.