"Di balik hutan berkabut dan sungai dingin, Uqail menemukan bahwa cahaya paling terang bukan berasal dari matahari, tapi dari tekad yang tumbuh dalam dirinya sendiri."
Langit belum punya warna. Bahkan angin pun belum punya suara. Tapi di dalam sebuah gubuk kecil yang dibangun dari kayu tua dan harapan yang tak kunjung penuh, seorang anak duduk mengikat tali sepatunya yang tinggal setengah nyawa.
Namanya Uqail. Umurnya sepuluh. Tapi napasnya kadang seperti milik orang dewasa yang tahu betul, hidup ini bukan soal manja.
Ibunya duduk di dekat tungku. Api tak lagi menyala. Hanya bara. Cukup untuk menyalakan keheningan pagi yang belum jadi pagi sepenuhnya. Dari lantai tanah, dingin merayap ke lutut. Tapi tak ada yang mengeluh. Mereka sudah biasa ditemani udara yang tak bisa dibayar.
Ibu tak banyak bicara. Ia hanya mengambil roti jagung dari loyang seng yang penyok di pinggir dapur, membungkusnya dengan kain lusuh, dan memasukkannya ke dalam tas butut milik Uqail. Sebotol air menyusul.
"Ini...," katanya pelan. Bukan kalimat. Hanya potongan harapan yang disisipkan ke dalam saku kain.
Uqail mengangguk. Sepatunya—yang kiri sudah bolong, yang kanan tinggal sol—dipakainya seperti biasa. Tidak ada sepatu baru. Tidak ada bekal lebih. Tapi selalu ada langkah, dan langkah itu akan dimulai hari ini lagi.
Ayah sudah pergi sejak tadi. Mungkin jam tiga, mungkin lebih dini. Kadang Uqail tak yakin apakah ayahnya benar-benar tidur di rumah malam sebelumnya, atau hanya mampir seperti embun yang datang lalu menghilang begitu matahari memanggil.
Ayam-ayam belum berkokok. Langit masih diam. Jam dinding yang menggantung miring menunjukkan angka yang tak pasti. Tapi Uqail tahu, sudah waktunya.
Ia memanggul tas. Beratnya bukan karena buku, tapi karena perjalanan yang belum dijalani.