Teman-temannya menyapa, tapi tidak semua menyadari bahwa ia baru saja menyeberangi hutan dan sungai, menantang dingin dan kabut, hanya untuk duduk di kursi kayu yang retaknya ditambal paku bengkok.
Ia masuk kelas. Buku-buku di tasnya masih kering. Roti jagung dari ibu masih utuh. Ia letakkan perlahan di atas meja, seperti meletakkan batu terakhir di puncak tumpukan harapannya.
Gurunya belum datang. Tapi cahaya sudah.
Dari jendela, sinar matahari menari di lantai kelas. Debu-debu yang beterbangan seperti bintang kecil yang tertangkap cahaya. Uqail menyukai saat-saat seperti ini.
Saat dunia belum ribut. Saat papan tulis masih bersih. Saat semua masih mungkin.
Ia membuka buku. Membaca ulang pelajaran kemarin. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena dingin, tapi karena semangat yang belum sempat turun.
Teman-temannya mulai ribut. Ada yang menggambar di papan tulis, ada yang berlari keluar kelas.
Tapi Uqail diam. Ia tahu waktunya belum banyak. Ia harus menyerap semua ilmu seperti tanah menghisap hujan pertama.
Seseorang menepuk pundaknya. Teman sebangkunya—Gusni—menyodorkan setengah dari bekal telur dadarnya.
"Gantian. Kau kasih aku roti jagung kemarin," katanya.
Uqail mengangguk. Mereka makan dalam diam. Tapi diam yang kenyang.