Bukan cahaya matahari. Tapi cahaya yang tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Yang datang tiap kali ia memilih untuk tetap melangkah meski dunia belum memberi lampu.
Ketika lonceng pulang berbunyi, Uqail tidak langsung bangkit. Ia menutup bukunya pelan, menatap papan tulis yang kini penuh coretan.
Lalu ia berdiri. Menggantung tasnya. Menggenggam senter yang tak ia butuhkan tadi pagi.
Langkahnya kembali menyusuri jalan pulang.
Lewat hutan. Lewat sungai. Lewat semua yang tadi ia taklukkan.
Tapi kini ia tahu. Bukan dunia yang berubah. Bukan kabut yang pergi. Tapi dirinya yang mulai menyala.
Matahari pertama itu, ternyata, tumbuh dari dalam dirinya sendiri.
Dan sejak hari itu, ia tahu, setiap langkah kecil bisa menjadi terang bagi dunia yang besar.
Baca cerpen lain:
- Cerpen Kolektor Kenangan
- Di Bawah Atap Lobo
- Rondo Kuning
- Merariq
- Pulang Sebelum Kenyang
- Bayangan di Dasar Sumur
- Carok
- Alter Ego
- Telur, Peta, dan Pengertian
- Bau Waktu yang Membeku
- Gang Kecil Digital
- Lebaran Tanpa Kata
- Konspirasi Ketupat
- Di Antara Pusaran Laut Banda
- Cahaya Malam Lailatul Qadar
- Jalan Terakhir di Tapal Bumi
- Empat Wajah Agus
- Residu Bom Bali
- Rahasia di Balik Kabut
- Paranoia di Sungai Musi
- Azis dan BCL
- Waktu Maghrib di Kandeapi
- Bisikan di Lift Kosong
- Jerat Kawin Kontrak
- Delusi
- Luka dalam Cinta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI