Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Matahari Pertama

5 Agustus 2025   08:09 Diperbarui: 3 Agustus 2025   17:12 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen: Matahari Pertama (Sumber: Canva)

Di luar, udara seperti masih ragu untuk lahir. Tanah lembap, dedaunan dingin, dan kabut tipis mulai menyelimuti halaman. Langkah pertama Uqail menggeser genangan. Sepatunya menciptakan suara lirih di tanah becek.

"Ibu," katanya. Bukan memanggil. Hanya menyebut, seperti doa.

Perempuan tua itu berdiri di ambang pintu. Tak melambaikan tangan, tak memberi pesan. Tapi matanya menyala seperti pelita yang ditiup angin. Ia tahu, anak itu akan pergi jauh pagi ini. Seperti kemarin. Seperti besok. Seperti hari-hari yang akan terus datang.

Dan hari itu belum punya nama. Belum juga punya matahari.

Uqail berjalan pelan. Melewati kebun pisang, kandang ayam yang kosong, dan batang-batang bambu yang meringkuk dingin di pinggir jalan. Ia menyimpan senter kecil di saku. Belum saatnya dinyalakan.

Ia tahu jalan ini. Ia hafal dimana batu licin berada. Ia kenal aroma tanah di tiap tikungan. Dan ia tahu, akan tiba di titik di mana kabut jadi lebih pekat, dan suara jadi lebih asing.

Langkahnya tak tergesa. Tapi mantap. Setiap jejak ditinggalkan tanpa janji untuk kembali. Ia tidak berjalan demi sekolah saja. Ia berjalan demi sesuatu yang belum tahu bentuknya, tapi sudah lama ia percayai.

Mungkin cahaya. Mungkin dunia. Atau mungkin hanya sebentuk jendela tempat ia bisa menatap keluar tanpa takut ditertawakan.

Ketika ia sampai di batas hutan, tempat daun-daun besar mulai menutupi langit dan suara burung malam belum diganti suara burung pagi, ia berhenti sebentar.

Menarik napas. Menyalakan senter. Menatap lurus ke jalan tanah yang membelah gelap.

Dan di situ, di ambang rimba yang diam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun