Samarinda, September 1965
Langit pagi seminggu, penghujung September 1965 menggantung seperti kain batik tua yang warnanya mulai pudar—biru kelabu yang enggan bersinar, seolah menyimpan rahasia dalam lipatan awan.Â
**
Mentari muncul malu-malu, seperti mata seorang ibu yang tahu anaknya menyimpan dendam, tapi belum sanggup bertanya. Angin menyisir pelan, membawa bisik-bisik dari pohon-pohon jati yang berdiri seperti saksi bisu, menunggu sejarah menumpah tinta merahnya.Â
Di ufuk timur, cahaya jingga tak lagi hangat, melainkan seperti bara yang belum menyala—menandakan pagi-pagi yang akan datang tak hanya membawa kopi dan koran, tapi juga kabar yang mengguncang jiwa bangsa.
Di jalanan yang mulai senyap menjelang senja, para pemuda rakyat dan organisasi lain yang bernaung di bawah partai saling bersitatap—mata-mata curiga, gerak tubuh tegang, seolah tiap langkah adalah sandi. Aroma persaingan kental di udara, seperti kopi yang terlalu pekat, dan tiap pertemuan mendadak berubah jadi ajang saling gertak, bukan dengan kata, tapi dengan tatapan yang bicara tajam dari pidato.
Langkah mereka bersilangan, tapi tak pernah benar-benar bertemu. Seperti dua arus sungai yang sama derasnya, tapi enggan menyatu. Ada semacam puisi yang tak selesai di antara mereka—bait-bait tentang ideologi, tentang sejarah, tentang siapa yang paling mencintai negeri ini. Tapi semua itu bertahan di dada, tak sempat jadi suara.
**
Di sudut warung kopi yang biasa jadi tempat diskusi, tiga pemuda dari latar berbeda duduk mengeliling meja kayu tua. Narsid seorang pemuda Ansar menyandarkan tubuh di dinding warung sambil mata menyipit.
"Gerak Pemuda Rakyat itu terlalu teratur, seperti barisan yang sudah hafal medan. Kita cuma tebak arah, tapi mereka sudah pasang bendera." ujarnya sambil mengetuk meja pelan, seolah menahan amarah.
Dani, seorang pemuda Marhaenis (menyeringai, suara datar):