"Teratur bukan berarti benar. Tapi kalau kita saling intip, saling tuding, siapa yang sebenarnya kita lawan? Siapa?" katanya sambil memutar sendok di gelas, mata tak lepas dari jalanan.
"Setiap kali mereka lewat, suasana berubah. Tatapan jadi senjata, langkah jadi pernyataan. Kita bicara soal rakyat, tapi saling curiga. Merasa paling benar satu sama lain" ucap Burhan lirih, seperti bertanya pada dirinya semdiri.Â
Narsid menarik napas panjang, suara pelan tapi tegas:
"Kalau semua saling jaga jarak, saling pasang sikap, saling simpan dendam... yang kita bela sebenarnya siapa?" tanyanya sambil menatap langit yang mulai gelap, wajahnya tak lagi marah, tapi lelah.
September 1965 di kampung Loa Bakung terasa ganjil—angin dari Sungai Mahakam membawa bisik-bisik yang tak biasa.Â
Di warung kopi Haji Tukacil, pembakal kampung tak lagi soal harga beras yang selangit, tapi tentang Jakarta yang katanya mulai panas. Radio tua di warung kopi pembakal memutar berita dengan suara serak, menyebut nama-nama yang terdengar berat: Aidit, Soekarno, Nasution.Â
Anak-anak dilarang bermain terlalu jauh, dan para bapak mulai bicara pelan-pelan, seolah tembok pun bisa mendengar. Di langgar, doa terasa lebih panjang dari biasanya. Di ladang, cangkul tak secepat dulu. Ada rasa waspada yang tak bisa dijelaskan, seperti menunggu hujan yang tak kunjung turun.
Pemuda-pemuda yang dulu bersahabat kini saling pandang dengan mata penuh tanya. Ada yang mulai mengenakan lencana, ada yang mulai menyembunyikan buku.Â
Menjelang akhir bulan september, para pengurus Barisan Tani tampak sangat sibuk. Mereka bergotong royong membabat rumput ilalang di ladang, saling bahu-membahu sejak pagi hingga menjelang senja. Masing-masing anggota menerima pembagian baju dan beras, sebagai bentuk solidaritas dan penguatan barisan.
**
Radio tua di warung kopi Haji Tukacil memuntahkan kabar yang tak biasa—tentang jenderal, tentang penculikan, tentang Jakarta yang tak lagi tenang. Warga berkumpul, wajah-wajah mereka saling mencari kepastian yang tak ada.