Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Penulis

Menjadi penulis adalah menjadi saksi: terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap sejarah yang terus bergerak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rumah Bercat Merah

1 Oktober 2025   17:47 Diperbarui: 1 Oktober 2025   18:09 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen Rumah Bercat Merah diolah menggunakan Canva untuk Kompasiana —Source: Aflo Images

Samarinda, September 1965

Langit pagi  seminggu, penghujung September 1965 menggantung seperti kain batik tua yang warnanya mulai pudar—biru kelabu yang enggan bersinar, seolah menyimpan rahasia dalam lipatan awan. 

**

Mentari muncul malu-malu, seperti mata seorang ibu yang tahu anaknya menyimpan dendam, tapi belum sanggup bertanya. Angin menyisir pelan, membawa bisik-bisik dari pohon-pohon jati yang berdiri seperti saksi bisu, menunggu sejarah menumpah tinta merahnya. 

Di ufuk timur, cahaya jingga tak lagi hangat, melainkan seperti bara yang belum menyala—menandakan pagi-pagi yang akan datang tak hanya membawa kopi dan koran, tapi juga kabar yang mengguncang jiwa bangsa.

Di jalanan yang mulai senyap menjelang senja, para pemuda rakyat dan organisasi lain yang bernaung di bawah partai saling bersitatap—mata-mata curiga, gerak tubuh tegang, seolah tiap langkah adalah sandi. Aroma persaingan kental di udara, seperti kopi yang terlalu pekat, dan tiap pertemuan mendadak berubah jadi ajang saling gertak, bukan dengan kata, tapi dengan tatapan yang bicara tajam dari pidato.

Langkah mereka bersilangan, tapi tak pernah benar-benar bertemu. Seperti dua arus sungai yang sama derasnya, tapi enggan menyatu. Ada semacam puisi yang tak selesai di antara mereka—bait-bait tentang ideologi, tentang sejarah, tentang siapa yang paling mencintai negeri ini. Tapi semua itu bertahan di dada, tak sempat jadi suara.

**

Di sudut warung kopi yang biasa jadi tempat diskusi, tiga pemuda dari latar berbeda duduk mengeliling meja kayu tua. Narsid seorang pemuda Ansar menyandarkan tubuh di dinding warung sambil mata menyipit.

"Gerak Pemuda Rakyat itu terlalu teratur, seperti barisan yang sudah hafal medan. Kita cuma tebak arah, tapi mereka sudah pasang bendera." ujarnya sambil mengetuk meja pelan, seolah menahan amarah.

Dani, seorang pemuda Marhaenis (menyeringai, suara datar):

"Teratur bukan berarti benar. Tapi kalau kita saling intip, saling tuding, siapa yang sebenarnya kita lawan? Siapa?" katanya sambil memutar sendok di gelas, mata tak lepas dari jalanan.

"Setiap kali mereka lewat, suasana berubah. Tatapan jadi senjata, langkah jadi pernyataan. Kita bicara soal rakyat, tapi saling curiga. Merasa paling benar satu sama lain" ucap Burhan lirih, seperti bertanya pada dirinya semdiri. 

Narsid menarik napas panjang, suara pelan tapi tegas:

"Kalau semua saling jaga jarak, saling pasang sikap, saling simpan dendam... yang kita bela sebenarnya siapa?" tanyanya sambil menatap langit yang mulai gelap, wajahnya tak lagi marah, tapi lelah.

September 1965 di kampung Loa Bakung terasa ganjil—angin dari Sungai Mahakam membawa bisik-bisik yang tak biasa. 

Di warung kopi Haji Tukacil, pembakal kampung tak lagi soal harga beras yang selangit, tapi tentang Jakarta yang katanya mulai panas. Radio tua di warung kopi pembakal memutar berita dengan suara serak, menyebut nama-nama yang terdengar berat: Aidit, Soekarno, Nasution. 

Anak-anak dilarang bermain terlalu jauh, dan para bapak mulai bicara pelan-pelan, seolah tembok pun bisa mendengar. Di langgar, doa terasa lebih panjang dari biasanya. Di ladang, cangkul tak secepat dulu. Ada rasa waspada yang tak bisa dijelaskan, seperti menunggu hujan yang tak kunjung turun.

Pemuda-pemuda yang dulu bersahabat kini saling pandang dengan mata penuh tanya. Ada yang mulai mengenakan lencana, ada yang mulai menyembunyikan buku. 

Menjelang akhir bulan september, para pengurus Barisan Tani tampak sangat sibuk. Mereka bergotong royong membabat rumput ilalang di ladang, saling bahu-membahu sejak pagi hingga menjelang senja. Masing-masing anggota menerima pembagian baju dan beras, sebagai bentuk solidaritas dan penguatan barisan.

**

Radio tua di warung kopi Haji Tukacil memuntahkan kabar yang tak biasa—tentang jenderal, tentang penculikan, tentang Jakarta yang tak lagi tenang. Warga berkumpul, wajah-wajah mereka saling mencari kepastian yang tak ada.

Siaran RRI yang mengabarkan tentang Gerakan 30 September oleh Letkol Untung terjadi pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 07.00 WIB.

Dalam siaran tersebut, Letkol Untung menyatakan bahwa telah dilakukan operasi penyelamatan terhadap Presiden Soekarno dan Kabinet Dwikora dari ancaman kudeta oleh apa yang ia sebut sebagai "Dewan Jenderal". Ia mengklaim bahwa Gerakan 30 September adalah bagian tugas pasukan Cakrabirawa untuk melindungi Presiden dan revolusi. 

Kemudian, pada pukul 11.00 WIB, ia kembali menyampaikan dekrit pembentukan Dewan Revolusi, menyatakan bahwa kabinet Dwikora telah demisioner. Haji Tukacil menaikkan volume radionya, tapi justru membuat suasana makin genting.

Tak ada yang benar-benar paham apa yang sedang terjadi. "Gerakan?" "Dewan Jenderal? "Penyelamatan?"—kata-kata itu berputar di kepala warga, tapi tak ada yang berani menafsirkan.

**

Di langgar kecil, Pak Karyo menggenggam tasbih lebih erat. Di rumah Bu Sari, pintu yang semalam dicoret silang merah kini terasa seperti tanda kutuk. Kampung yang biasanya riuh oleh suara canda dan piring beradu, kini hanya menyiasakan bisik-bisik dan langkah yang pelan.

"Apa kita harus sembunyi?"
"Siapa yang mereka cari?"
"Kenapa rumah Pak Sastro dicat merah duluan? Siapa yang melakukannya?"

Tak ada jawaban. Hanya suara radio yang terus menyampaikan kabar dari Jakarta, dan wajah-wajah kampung yang mulai kehilangan warna.

Wajah-wajah di kampung tak lagi ramah. Mereka saling pandang, saling curiga, dan saling diam. Di depan rumah Pak Sastro, tanda silang merah itu masih basah. Seorang anak kecil, bernama Seno sempat bertanya pada ibunya," Kenapa rumah itu dicoret, bu?" Ibunya hanya menggeleng, lalu menyuruh Seno masuk dan jangan bertanya. 

"Jangan keluar dulu, Nak. Dunia sedang kacau," katanya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Seno menatap langit yang mendung, seolah awan pun ikut bingung. Ia ingin bermain, ingin berlari, ingin tertawa seperti kemarin. Tapi kampungnya telah berubah. 

Dan di tengah suara radio yang terus berbicara tentang Jakarta, jenderal, dan revolusi. Seno hanya bisa bertanya dalam hati: apakah besok masih ada sekolah? Apakah rumah Pak Sastro akan tetap ada? Semua bingung, apa yang telah terjadi. Dan apa artinya rumah bercat merah. (*)

Disclaimer:

Cerita ini merupakan karya fiksi yang berlatar peristiwa menjelang 30 September 1965. Tokoh, dialog, dan kejadian dalam cerita tidak dimaksudkan untuk mempresentasikan individu atau kelompok tertentu secara nyata. Segala kesamaan dengan nama, tempat, atau peristiwa adalah kebetulan semata. Cerita ini ditulis sebagai refleksi imajinatif atas suasana sosial dan psikologis masyarakat pada masa tersebut.

Catatan: Kosakata dalam KBBI

Pembakal: Kepala kampung atau desa (di Kalimantan); semacam lurah.

langgar: surau; musala—tempat ibadah umat Islam yang biasanya lebih kecil dari masjid dan digunakan untuk salat berjamaah, pengajian, atau kegiatan keagamaan lainnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun