Di depannya, jalan tanah berubah jadi jalur kecil di antara ilalang. Tinggi-tinggi, liar, kadang melukai, kadang menggelitik.
Ia melangkah lagi.
Dan saat matahari akhirnya menembus celah dedaunan, menciptakan garis-garis emas di tanah becek, Uqail mendongak.
Bukan karena silau. Tapi karena itu pertanda. Ia tidak salah jalan. Ia tidak salah harap. Ia tidak salah langkah.
Ia terus berjalan, ditemani sinar yang masih malu-malu. Ilalang bergoyang. Angin mulai bercerita. Dan di kejauhan, genting sekolah yang memantulkan cahaya menyapa samar.
Uqail tersenyum. Tapi ia belum sampai. Masih ada kelokan. Masih ada tanjakan. Masih ada sedikit lagi.
Lalu, di balik tikungan itu—suara tawa anak-anak mulai terdengar.
Tapi bukan hanya tawa itu yang menunggu. Ada sesuatu lain, yang tidak pernah ia duga akan terjadi hari itu.
Suara tawa itu bukan datang dari langit. Bukan juga dari balik dedaunan. Ia datang dari tanah, dari anak-anak yang duduk di emperan sekolah, menggoyang-goyangkan kaki mereka seperti sedang menunggu waktu masak mie instan.
Uqail mendekat. Langkahnya pelan, tapi matanya menyala. Sinar matahari menimpa wajahnya dari samping, membuat bayangannya memanjang ke arah papan tulis yang belum ditulis apa-apa hari ini. Ia berhenti sebentar. Bukan karena lelah. Tapi karena ingin menyimpan momen itu dalam ingatan.
Sekolah itu bukan besar. Dindingnya dari papan, gentingnya miring sebelah. Tapi baginya, bangunan itu seperti kapal yang siap membawanya ke mana saja, asal ia bisa membaca peta dan menulis arah.