Dari kejauhan, suara air mulai terdengar. Lembut. Mengalir. Bergumam. Seperti suara ibu saat meninabobokkan adiknya yang dulu pernah ada.
Uqail tahu, sungai kecil sudah dekat.
Ia berhenti sejenak di bibir aliran. Airnya bening, tapi tak ramah. Batu-batunya licin, dan arusnya kadang usil. Tapi bukan berarti tak bisa dilewati.
Uqail melepas sepatunya. Ia gantungkan di leher, talinya sudah ditalikan malam tadi. Ia gulung celana hingga ke lutut, menapaki batu demi batu.
Dingin. Menusuk seperti kata-kata yang tak pernah sempat disampaikan. Tapi ia diam. Tidak meringis. Tidak menggigil.
Air sampai ke betis. Arus mencium kulit. Dan kabut seperti menunduk memberi jalan.
Sesekali batu menggeser. Keseimbangan hilang sebentar, tapi Uqail cepat menangkap dirinya sendiri.
Ia tahu. Kalau jatuh, bukan hanya badan yang basah, tapi buku di tas bisa rusak. Dan kalau buku rusak, apa yang akan ia tunjukkan pada masa depan nanti?
Sampai di seberang, ia duduk sebentar di batu besar. Mengelap kaki. Memeras ujung celana. Dan mengenakan kembali sepatu yang tak pernah mengeluh.
Langit mulai bersuara. Burung kecil mulai mencoba not pertamanya. Embun yang tadi menggantung mulai pecah oleh gerak angin.
Senter dimatikan. Cahaya alami mulai menang. Uqail menyimpan benda kecil itu di saku—temannya di pagi-pagi gelap.