langkah berikutnya menanti.
Senter kecil itu menyala pelan. Tidak terang, tidak juga lemah. Cukup untuk memberi tahu bahwa dunia belum hilang seluruhnya.
Kabut turun seperti tangan nenek yang menyelimuti cucunya. Pelan, berat, dingin. Uqail menapakkan kaki ke jalan setapak yang diselimuti basah. Ranting-ranting jatuh berserakan, seperti sisa percakapan pohon yang belum selesai semalam.
Di antara semak dan akar yang mencuat seperti jari-jari tua yang mengais sisa mimpi, Uqail berjalan. Pelan. Setiap langkahnya seperti mengetuk pintu dunia yang belum bangun.
Sesekali suara burung hantu menyusup dari langit tinggi, seperti menggumamkan peringatan.
Tapi Uqail tak takut. Ia sudah biasa.
Sudah terlalu sering bersahabat dengan bayangan yang tak punya nama.
Ia menyentuh batang pohon, dinginnya menempel di kulit. Tapi justru itu yang ia cari, tanda bahwa ia masih hidup, dan jalan masih ada.
Kabut makin tebal. Dedaunan di atas kepalanya menyaring cahaya senter, menciptakan lukisan aneh di tanah—seperti huruf-huruf tua yang lupa ejaan. Uqail melihatnya tanpa membaca. Yang ia tahu, jalan masih panjang. Dan di ujungnya, ada kelas dengan papan tulis yang menganga, menunggu ditulisi cita-cita.
Ia melangkah lagi.
Sepatu bolongnya kemasukan air dari genangan. Tapi ia biarkan. Sudah biasa. Yang penting bukan keringnya kaki, tapi panasnya tekad.