1
Renjana Pagi
pagi duka
makan angin
minum debu
kau entah dimana
hatiku dingin
disergap bekuÂ
2
di Ranjang Pengantin
Kekasih, apakah ranjang pengantin kita masih hangat ?
Angin barat santer menerjang laut
Menerobos loronglorong kabut
Ombak dan gelombang berebut ke pantai
Hatiku merindumu tak usai-usai
3
kita tak peduli
tangan kita erat berpegangan. langit di luar mendung. dari music player sayup mendayu suara january christy yang mendesah berat karena ditimpa suara knalpot bocor.Â
sementara jauh disana para politikus sibuk mematut-matut diri dengan cara mencacag-cacag kehormatan lawannya.Â
kita tak peduli
tak terasa kita sudah berdekap dan berpagut kini
4
Rindu dan Kereta Terakhir Itu
Rindu memalu rindu bertalu
Harapan lekas bertemu
Biar segera bercumbu
Kereta terakhir sudah lewat
Aku tercekat dihadang sekat
Dibanjiri lunglai penat
Kekasih, mungkin mencumbumu seabad lagi masih akan
kini hidupku penuh urusanÂ
Yang belum lagi bisa kuselesaikan
Sementara kereta terakhir telah lewat
Aku sekarat
Menahan rindu yang berkarat
5
Menggelar Tentram
Saat hanyut dalam RASA, anganangan tibatiba menyela dan diamdiam menyeretku, membawa menjauh dari RASA. Sebelum terlalu jauh, kutegur ia.Â
" Hai, kau Cah Bagus. Hendak kau ajak aku kemana ? Ke masa depan yang masih penuh perkiraan & tanda tanya ? Atau ke masa kemarin yang telah lalu ?Â
Ayolah, diam dan tenanglah DISINI. Nikmati yang sedang terjadi KINI. RASAkan darah yang mengalir ke seluruh tubuh & oksigen yang memenuhi tiap sel. RASAkan dan nikmati semuanya. Pori-pori yang bernafas bebas dan rambut yg asik diskusi, tentang siapa yang memutih duluan. Naah, gitu doong, diam tenang dan .... "
Begitu selesai kubujuk angananganku, aku sudah lelap, tanpa mimpi. Zzzzzz
6
Di Stasiun Pada Pagi Buta Hari Ini
Andai aku bisa sampai padamu saat ini, _saat kau masih terlelap_, pasti aku bangunkan kamu dengan kecup dan bunga. Namun waktu senantiasa setia pada detiknya. Hingga aku harus menunggu sampai jam kereta berangkat tiba. Lalu saatnya aku melewati rindu yang mengalur sepanjang rel hingga jalan menujumu.
Kuhela nafas, menyimpulkan betapa rinduku begitu mesra bersekutu
dengan waktu
7
Kecupan dan hasrat
Pada dua alismu terbentang jembatan rambut-rambut halus tempat aku menyemaikan kecupan dan hasrat
tetaplah kasih, kau larut dalam ciumku
sampai maut menjemput
8
_Percakapan Gelap_
"Sayang, kemarilah. Peluk aku erat-erat sebelum engkau kembali padanya.Â
Jadikan percintaan kita sekarang seolah percintaan yang terakhir. Panas, ganas dan buas," pintaku padanya yang sedang termangu menatap keluar jendela dengan tubuh dililit selimut seadanya.Â
Dia diam saja. Tangannya pelan mengusap kaca jendela. Tiba-tiba dia menghambur padaku hingga selimut di tubuhnya ikut tanggal, kemudian memelukku sambil menangis deras.
Maka seketika itu uratku tegak, keras dan membara.
9
di Puncak Malam
Kipas angin gantung di kamar terus saja berisik, riuh-rendah dan reyot.
Baling-balingnya oleng membelah-belah udara.
"Aku ingin jadi angin," katamu. "Agar bisa menelusup ke celah tersempit dimana kau berada.".Â
"Ah tidak," sanggahmu sendiri. "Aku ingin jadi udara saja, biar bisa masuk ke tubuhmu setiap waktu."
Sejenak sunyi. Tiba-tiba :"Tidak! Aku ingin jadi diriku sendiri saja biar bisa menyiumimu sesukaku."Â
Kemudian segalanya jadi sunyi. Hilang suara kipas angin yang berisik. Yang ada hanya desah nafas dan kecipak bibirmu melumat bibirku.
Cepat, hangat dan padat.
10
Kepada kekasih
Selalu sajaÂ
aku tak berdaya
saat cintamu menjemba
Membuatku terpaku
Kelu
dan
Beku
Selalu saja
aku mendamba
peluk dan kecupmu senantiasa
Menghangatiku
sampai Bisu
dan
Memaku
( selamat ulang tahun, istriku. puisi, doa, Â cinta dan setia untukmu )
11
Percakapan Angin, Pucuk Daun dan Mendung di Suatu Senja yang Dingin dan Basah
"Aku minta maaf karena ngga bisa memenuhi janji utk bercerita tentang _sunrise_ & _sunset_ di pantai itu," Angin berkata kepada Pucuk Daun.
Pucuk Daun diam & resah. "Sepanjang hari langit suram. Mendung tekun menutup matahari," sambung Angin. Pucuk Daun masih beku dan bisu.
Mendung yang melihat mereka kemudian berkata :"Maafkan aku kerna seharian menggelapi bumi. Hari itu ada sepasang kekasih yang bersetia suci sampai kapanpun. Lihatlah kini mereka menikmati cinta, berlarian di pantai dengan gembira."Â
Mendengar jawaban Mendung, Pucuk Daun merunduk malu. Angin kemudian memeluknya, erat dan hangat.
12
Mendamba Bermain Sepenuh Waktu
Seorang anak kecil bertanya tentang apa itu Kemerdekaan.
Kakeknya mengatakan :
"Cu, kemerdekaan itu jika tanpa tongkat kita tetap bisa berjalan."
Ibunya menjelaskan :
"Nak, kemerdekaan itu kalau kamu selalu mematuhi aturan dan ngga banyak pertanyaan."
Ayahnya ikut menambahkan :
"Gini ya Nak, kemerdekaan itu kalau kelak saat sudah besar kamu bisa ngumpulin uang yang banyak."
Kakak perempuannya menerangkan :
"Kemerdekaan itu kalau kita bisa jalan-jalan, makan-makan, dandan-dandan, wifi-an tanpa larangan."
Lalu anak kecil itu membuka halaman buku sekolahnya yang bergambar foto Proklamasi Kemerdekaan.
Lama dia mengamati foto tersebut. Tiba-tiba dia berteriak : "Kemerdekaanku hilang karena banyak tugas pelajaran yang harus kuselesaikan."
Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Selalulah jadi negeri yang elok dan sentosa.
13
Nanar
Gadis Merah Jambu, o duhai
mengapung di purnama
menjangkaumu aku lunglai
berkarung duka di dada
14
Tak ada luka yang bisa melukai rinduku
kau tancapkan pisau di dadaku
tak ada luka, tak adaÂ
tak ada darah, tak ada
tak ada nanah, tak ada
yang tinggal
hanya rindu yang mendendam menggendam
: memabukkan
15
Menyatu SATU
Malam tafakur
DalamMU aku melebur
Cinta bertabur
Jam melaju
Satu satu
mengeja namaMU
sampai menyepi sunyi
16
Luka
kucing mengerang minta kawin
anjing menggonggongÂ
melihat bulan diperkosa awan
aku disini dicambuk kesepian,Â
termangu di depan fotomu yang tiada lagi senyuman
17
sebelum hujan Turun di KOTAmu
kau tatap lama tirai jendela yang lunglai dan pucat sambil kau hela nafas panjang seperti mencoba melepaskan bergunung-gunung beban, namun tetap saja beban itu membeku dan setia bersamamu
18
saat hujan Turun di KOTAmu
kau buka tirai jendela sambil bergumam atau bahkan terdengar menyerupai bisik : "sayang,ayo kita rayakan hujan ini dengan TAwa dan cinTA. Sebab alangkah merananya hidup tanpa keduanya. Ia serupa tanah yang berabad mengering."
19
setelah hujan Turun di KOTAmu
kau tutup tirai jendela dengan pelan dan tiba-tiba dengan kecepatan yang tak kuduga, kau hamburkan pelukan dan ciuman yang panas hingga aku susah bernafas dan tak kuasa membalas
20
Melarik senja
Seperti sore yang mengeja waktu dengan jingganya, yang tak putus mendaraskan doa, dan tak henti menyelimuti matahari. Itulah aku yang tak henti mengenangmu sampai ke sum-sumku dan makin mencintaimu di tiap detikku
21
Telah Terpatri
langit mengirimkan puisi yang pasi ke ranjangku yang beku,
sementara rinduku gagal melacak jejak rindumu yang hilang di ujung kabut
Meskipun bau tubuhmu tetap menancap tajam di ingatan
22
Sumpah
kau dedes, aku arok
langit dan bumi dalam genggaman
semesta merestui
kupeluk kupeluk engkau rapat-rapat
bagai mangsa tekena jerat
menyatu menyawa di kalbu
dalam keabadian waktu
23
Untuk Indonesia
Indonesia adalah pelangi
Beragam warna, beribu bahasa dan budaya
Memperindah semesta dengan perbedaannya
Tak sebutir peluru pun
Bisa membuat pelangi
Hanya menjadi satu warna
Tak sebilah pedang pun
Bisa memaksa Indonesia harus seragam dan sama
Tak ada satu pun kekuasaan manusia
Yang bisa menjadikan warna kulit
Hitam semua,
Putih semua,
Atau kuning semua
Karenanya
Biarkan Indonesia tetap menjadi pelangi
Menghiasi bumi
Dengan warna warninya
24
Dalam hujan yang datang setelah  seribu abad
" Ayolah kita lewati gerimis ini", katamu sambil menggamit tanganku
Seketika gerimis mengguyur tubuhÂ
Rambutmu tergerai berat membawa basah,
Sepatumu memecah air yang menggenang.
Butiran air singgah di dahimuÂ
Dan pelan-pelan meleleh ke bibirmu
" Sebaiknya kita berteduh saja. Gerimis sudah menjadi hujan yang ganas. Aku khawatir kamu kena flu", bisikku di telinganya
" Berteduh ?", kau bertanya heran sambil mendongak ke langit
" Tidak. Ini hujan pertama setelah seribu abad.
 Kita akan terus berjalan.Â
Bahkan kita akan bercinta dengan ledakan berpanjang-panjangÂ
sampai hujan ini reda!!", teriakmu kini
Astaga, aku terkesimaÂ
karena tiba-tiba aku menjelma hujan
dan kamu bumi
aku menghujamimu
dengan berjuta tusukan dan gairah
kamu pasrah dan basah
25
Di Bau Rambutmu
di bau rumbutmu lahirlah hamparan lautÂ
aku akan merenangi dengan nafas memburu
di bau rambutmu terbit wajah langit
aku akan menerbangi dengan bisikan gairah
di bau rambutmu tumbuh mawar
aku akan mendekap erat meski harus berdarah
karena tusukan duri-durinya
Akulah kekasih sejati
Yang menjadikan bau rambutmu
Sebagai selimut tidurku
(Bandung, 4 nov'15)
26
sesaat Setelah Hujan pergi
Bahkan sungguh aku ingin kita bercakap tentang apa saja tanpa kita rencanakan hendak bicara apa karena aku merasa banyak sekali yang bisa kita percakapkan.
Namun sayang engkau lebih memilih berasikmasyuk dengan gadget terbarumu yang berkilat-kilat saat terkena bias cahaya, mengingatkanku pada kilat pundakmu yang putih saat berkeringat.Â
" Sayang, aku tak percaya kenapa orang-orang sekarang begitu gampangnya menjadi kompor : dibakar dan membakar, " tiba-tiba engkau berucap. Ah, aku tak tahu apakah engkau sedang berkata atau bergumam. Aku lebih tidak tahu lagi ucapanmu engkau tujukan pada siapa karena saat engkau berucap, pandanganmu tetap ke gadgetmu dengan jempol tanganmu terus menerus bergerak di atasnya, sampai-sampai rokok mild di jari tanganmu sudah memucuk abunya dan hampir jatuh di rok hitam berbahan kain sifon yang lembut, lentur dan halus permukaannya.
Kuputuskan aku tak menjawab ataupun  menanggapinya karena aku sungguh yakin engkau tak membutuhkannya. Aku memilih larut dalam rasa kopi Gayo yang pekat dan pahit yang jika diteguk pekatnya akan tinggal lama di ujung tenggorokan dan bahkan akan selalu bisa terulang dalam ingatan meski sudah lampau meminumnya.
Mataku menyapu pandangan ke jalan raya yang lalu lalang bermacam kendaraan di atasnya. Semuanya sibuk, tak acuh, dingin dan bosan dirambang basah hujan.
sesaat Setelah Hujan pergi, aku kesepian tapi tak terluka.
Tasikmalaya, 24 Oktober '17
27
Senin yang Selalu Bergegas
Tiada lagi kenangan-kenangan bersemi
Seperti hujan yang tak membawa dingin
Semua menguap menjadi awan
Hanyut dalam kesia-siaan
Rebah
Punah
Musnah
Musim dan abad bertemu di sebuah cafe
kemudian bercakap akrab sambil menghirup kopi pahit dan menghisap cerutuÂ
Sementara berita-berita di televisiÂ
begitu rajin melahirkan ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, ketakutan juga motivasi palsu yang kemudian dikunyah dan ditelan mentah oleh anak-anak sekolah
Akhirnya lahirlah generasi pemberang, pemarah dan penuh masalah
O, engkau Kekasih yang selalu ceria !
Dimanakah kau simpan cerita-cerita jenaka, hulu dari segala makna ?
Tasikmalaya, 23 Oktober'17
28
tak sudahsudah menulis namamu
aku menulis namamu - pelanpelan huruf demi huruf - sambil kuamati bentuk dan rupa hurufhuruf itu yang tak bisa kutahu kenapa telah menjadi nama yang bukan hanya kata, namun juga nyawa, jiwa, makna dan pesona.
akupun diam-diam tak terasa hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu menggeliat yang seiring dengan itu segala yang ada di tubuhku ikut menghangat bahkan kehangatan itu menyentuh selsel terkecil di tubuhku.
suarasuara di luar sudah tak ada lagi berganti degup dan desir darah seperti air yang menyeruak memasuki poripori busa cuci piring.
entahlah, tak sudahsudah aku menulis namamu di langit, di udara, di air, di ingatan hingga harihariku menjadi penuh namamu seperti keranjang belanjaan ibuibu di supermarket atau bak mandi yang luber airnya, tumpah ruah namun tidak sampai membanjiri.
tak sudahsudah kutulis namamu dan jarijariku tak jadi lunglai karenanya bahkan sebagaimana otototot binaraga yang justru selalu membesar mengembang penuh juga liat jika beban latihannya ditambah.
tak sudahsudah kutulis namamu karena kamu juga tak pernah sudah.
Tasikmalaya, 22 Oktober '17
29
Rindu yang Datang Bersama Hujan
Tiap sore hujan datang ke kotaku
membuat aku rindu padamu
pada cerita-ceritamu
dan tentu saja, deretan rapi gigimu
Seperti sore ini
Hujan kembali datang
Tidak rintik, tidak deras
Sedang-sedang saja
namun membasahi tanaman dan jendelaÂ
Tiap kali hujan datang
itu artinya rinduku mengembang
dan hatiku menghangat
meski hanya sekedar bisa mengingatmu
dengan singkat
30
Embun di Daun
Saat kubaca kisah percintaan Arok - Dedes, tiba-tiba rasa ciumanmu merayap mili demi mili di bibirku. Tiba-tiba pula seluruh sel dan hormon terbakar, seperti kayu basah dibakar api.
Lantas kisah percintaan Arok-Dedes menjadi nasi basi dan dingin yang bikin mual jika dimakan.
Rasa ciumanmu perlahan mengendap dan tinggal abadi di urat-uratku.
Ia menjelma embun di Daun yang tetap ada meski sedang hujan
Tasikmalaya, 29 Oktober '17
31
Kenapa kamu
Kenapa kamu
suka tergesa melintasi waktu ?
Ayolah, nikmati detikmu disini
Karena itulah yang sejatinya hidupmu
Kenapa selalu kau buang melulu ?
Kenapa kamu
biarkan dirimu dikusiri angan-anganmu ?
Lihatlah, betapa letihnya jiwamu
Berjalan kepayahan, hingga merangkak pun kau tak mampu
Apa yang kamu kejar ?
Berhentilah sejenak,Â
tarik nafasmu,
atur degup jantungmu,
amati sekelilingmu,
danÂ
biarkan semestaÂ
memelukmu.
Mesra dan apa adanya.
Tasikmalaya, 18 Oktober '17
32
Doa Terakhir Seorang Koruptor
Tuhan,
Ijinkan aku berlutut di depan-Mu
dan berdoa
Karena aku yakin
Engkau Maha Mendengar doa-doa
semua makhluk-Mu
meski ia penuh dosa seperti aku
( Bulan di angkasa
Cahyanya kuning emas
Berpendar menerpa jeruji penjara
yang kaku dan dingin )
Tuhan,
Inilah malam terakhirku.
Besok saat matahari sepenggalan naik,
satu regu tembakÂ
tlah siap mengakhiri hidupku.
Aku akan segera menghadap-Mu,
meninggalkan semua milikku, hartaku dan keluargaku.
Dan yang paling berkesan
kutorehkan jejak abadi :
m    a    t    i     s    e   b    a   g   a   i     k   o   r   u   p    t   o   r
Terima kasih Tuhan
karena aku tertangkap dan dipenjarakan
hingga aku bisa berkata jujur kepada diriku sendiri
saat ini
Setelah bertahun-tahun aku tutup mataku,
setelah detik demi detik dalam hidupku
aku tipu nuraniku
( Bulan di angkasa
Nyalanya meredup
Ditutup awan gemawan )
Aku ditikam kesepian Tuhan
Kemana kerabat yang duluÂ
mengelu-elukanku?
Kemana keluarga yang dulu
membanggakanku?
Kemana sahabat yang dulu
bersumpah setia kepadaku?
Apa mereka sedang berduka atau justru tertawa?
Ah, apa bedanyaÂ
Duka dan tawa hanya sepenggal kisah
yang tak kan merubah sejarah :
aku akan mati sebagai koruptor
Ya,
aku memang koruptor
Sudah kuakui semua ini
di depan jaksa, juga media massa
dan sekarang di depan-Mu yang Maha Perkasa
Aku memang koruptor
tapi aku bukan pengecut dan munafik
yang lari atau sembunyi
Bahkan aku beberkan semua bukti-bukti
yang selama ini mereka tutup-tutupi
dengan menyuap para saksi.
Selalu saja mereka melakukan itu,
memberi kesempatan orang untuk korupsi
kemudian saling berebut minta dibagi
seperti anjing berebut tulang basi.
Cuh!
( Bulan di angkasa
Lenyap seluruhnya
meninggalkan gelap yang menganga )
Tuhan,
Kuakhiri doa terakhirku ini
Ijinkanlah aku memasuki sorga-Mu
Sst Tuhan, berapa keping yang harus kubayar untuk mendapat satu kapling
di sorga-Mu?
Amin.
33
Malam dan Bulan
Malam jalang
Bulan lajang
Saling berlari telanjang
Menerobos menerjangÂ
Segala yang melintang
Namun akhirnya pingsan terlentang
Deru nafas memburu
Biru
Kelu
Beku
Malam menangis di kesunyian
Bulan meradang sendirian
Kunang-kunang lelap di ayunan
Tanpa cahaya tanpa bayangan
Malam dan bulan tak pernah mengeluh
Kerna detik mereka penuh peluh
Seperti nahkoda yang menarik sauh
Menuju pulau-pulau yang jauh
Menjelmakan hidup yang utuh
Hai, engkaukah malam atau bulan yang merana ?
yang menelan sepi sendirian saja ?
Tasikmalaya, 18 Oktober '17
34
Lagu Catalonia
Marcella, apa kabarmu di tengah negerimu yang menuntut merdeka ?
Apa kamu masih selalu senantiasa membersihkan kuku tiap habis mandi ?
Apa benar Camp Nou akan diganti nama ?
Aku kacau sebab selalu bertanya tentangmu tapi tak menemu jawaban
Aku ribuan kilo dari Catalonia sekarang,
Di sebuah kota bernama Tasikmalaya
Kota dengan rintik hujan yang padat dan udara dingin merayap
Kemarau hampir tidak ada
Aku menatap jendela yang basah dan korden yang lembab
Kopi di meja mendingin perlahan
Sementara hatiku bergetar karena terbakar rinduÂ
Darahku menderas karena wajahmu melintas
Pagi ini telah menjadi bencana
Karena ketiadaan dayaku menemuimu segera
Udara telah menjadi racun
Karena kenangan tentangmu menderas tanpa ampun
Marcella, lagu kemerdekaan Catalonia sudah berkumandang
Kuharap kamu baik-baik saja
dan sayangmu padaku tak hilang
Tasikmalaya, 17 Oktober '17
35
Laku Penggenapan
Anusapati,
Setelah bertubi-tubi kuhujam pisau pengkhianatan ke jantungmu,
Setelah berliter air keras kusiram ke egomu,
Setelah berlaksa bisa kusuapkan ke darahmu,
Setelah penghinaan dan penderitaan terperih kutimpakan kepadamu,
MakaÂ
Disinilah aku, Tohjaya
Diam saja
Tak akan mengelak, lari atau sembunyi
Untuk menerima pembalasanmu
Bukan hanya kebencian dan dendam namun juga kutukan maha kejam
Untuk merasakan berkali lipat kepedihan
Anusapati,
Disinilah aku, Tohjaya
Diam saja
Tak akan mengelak, lari atau sembunyi
Kuhadapi semuanya dengan terima kasih terbesarku
Kutanggung semua dengan bahagia, sendiri saja
Karena aku tahu
Inilah laku penggenapanku
Agar kelak di kemudian hariÂ
perjalanan panjangku lapang dan sempurna
36
Catatan Lelaki Empat Puluhan
Kekasih, percintaan kita adalah totalitas rasa, jiwa dan hidup. Didalamnya tersimpan daya akan gairah, penghormatan dan partnership. Kita tak melulu tenggelam dalam romantisme remaja. Tak ribet dengan ketertarikan pada wajah, tubuh dan kulit. Cinta kita sudah menukik dan menghujam dalam, sedalam-dalamnya dasar.
Kekasih, kau dan aku menyublim menyemesta. Hingga ingatan-ingatan tak kan pernah usang apalagi hilang. Terus berputar membayang senyampang lahirnya ingatan-ingatan yang baru. Hari-hari kita adalah hari-hari dimana bunga-bunga bermekaran.
Kekasih, saat raga ini mati kuingin kita mati bersama dengan berpelukan.
37
Jejak Itu
Diantara yang terserak
Aku tahu dimana kamu menapak
Karena tak mudah menghapus jejak
Di sudut ingatan yang lasak
Kamu menjelma udara
Kuhirup hawamu tanpa jeda
Melagu dalam darah jelaga
Merintih menghela duka
Saat malam kututup mataku pelan
Kuraba tiap sudut ranjang
Meruapkan berlaksa kenangan
Seribu warna bertebaran
Waktu menjadi ibu
Tempat menyandarkan segala kelu
Atas ketakberdayaan menghalau sembilu
Kamu, ya kamuÂ
yang selalu merayapi kepalaku
Tasikmalaya, 4 Oktober '17
38
Lintasan Rindu
Malam malas bergerak
Tiada tawa dan gelak
Kerinduan makin menyeruak
Padamu aku beranjak
(Kroya, 17/4)
39
Menyenyawa
Lenguh luruh bersama peluh
Kita satu tubuh, satu ruh
Menyatu utuh
Menyandarkan sauh di dermaga subuh
Waktu pun diam dalam sungguh
Malam tafakur
Dalam namamu aku melebur
Cinta bertabur
Jam melaju
Satu satu
Aku mengeja namamu
40
Pinta
Di stasiun aku terkesima
Begitu banyak cinta melintas-lintas
Akupun ingin segera sampai kepadamu dengan lekas
Keretaku keretaku
antarkan aku pada kekasihku
yang sudah di stasiun itu :Â
menungguku
Keretaku keretaku
Saliplah waktu
Kerna rindu ini makin menderu
dan membakarku
41
Sajak Malam Pertama
Kita bergelutÂ
saling berpagut,
Lantas berkaitpaut,
Tiada takut, hanya cinta melaut
Hormon kita bergejolak,
Bergolak bergolak galak
Membawa kita ke puncak
Dan kasur kita pun lasak.
Kita ulangi beribu malam lagi
42
Gerimis mengiris
ketika hujan tiba
itulah saat lahirnya anak-anakku yang gemuk dan lucu
yaitu kenangan-kenangan abadi tentang cintamu
yang dingin tapi menghangatkan
yang panas tapi menyejukkan
yang membara sekaligus membuai
Tapi hujan kali ini membuatku sedih
Karena hujannya hanya sebentar saja, itupun hanya gerimis
43
Tentang kau
kau adalah puisi yang lahir bersama angka, warna, huruf, rupa
kau pula yang membuat bunga mewangi, buah meranum, air meriak dan udara mengekas
hingga semesta menjadi sempurna
terutama saat kau tertawa
44
Laut pun bisa murka
Laut kau tenggelamkan dengan batu-batu gunung yang kau angkut bertruk-truk,
juga dengan beton-beton gajah
Nelayanpun bertanya : "dimana kami menjaring ikan lagi?"Â
Kemudian laut menjawabnya dengan mengirim cuaca panas menyilet, badai dan tsunami.
Cinta perlahan musna di lautku
45
Matahari  pagi-pagi dengan riang  menghangati dauh SALAM yang wangi  menghijau. Terbangun dari tidur di kota KUDUS, menjelajahi pikiran kekasih KASIH terjalin erat melekat tiada putus. Seperti kondisi DAMAI di suasana kota-kota penuh kesejukan sampai ke langit. DAN banyak hati berjalan dan menggetarkan SUKA CITA. Awan berlaksa-laksa berarak-arak SELAMAT menuju pelangi. Itu adalah ekspresi natural mortal dan NATAL mahluk di semesta raya. Tirai DESEMBER 2017 telah terbentang menahan sengatan badai. BAGI pengharapan dan cinta. Menuju keabadian YANG selalu saja lahir dari waktu ke waktu. Suara-suara yang membahana, membelai-belai batu dan air dan orang-orang yang MERAYAKAN sampai malam usai.
46
Menyerah
Aku susah bernafas karena bayangmu membelitku.Â
Dan aku tidak bisa menulis puisi karena wajahmu menyandera kata-kataku.
Inilah aku yang menyerah pasrah pada pesona dan cintamu.
47
Rajam
Kutangkap sajak di tengah hujan lebat
Jarum jam berkarat menghujam hujam
Meleleh darah di pori dan hatiku
Aku kuyup, kedinginan dan menggigil
Menanggung luka dan pengkhianatan
Yang kau tancapkan sejak berabad silam
Kini sajak yang kutangkap itu
perlahan menjadi bara yang segera menguraiku menjadi debu
48
Bertanya
Kenapa ku risau menggalau
Kenapa ku dihempas cemas
Kenapa ku lebih memilih yang enak dan menolak yang sebaliknya ?
bukankah suka-duka, untung-rugi, sehat-sakit selalu ada di kehidupan ?
bukankah tak ada suka-duka yang abadi, tak ada untung-rugi yang hakiki ?
bukankah yang serba dua itu pakaian kehidupan ?
diamlah
dan tengok DIA yang diam bertahta di kedalaman hati
yang SEJATI,
SUMBER KETENTRAMAN,
MATA AIR SEJATI,
kemana ku pergi, DIA selalu mengikuti
apapun yang ku lakukan, DIA mengetahui
namun
ku tidak menyadari
bahkan menutup diri
hingga ku dibelenggu dan dikekang terpenjara cemas galau risau
yang tak berarti
sampai sesudah raga ini mati
49
Perjalanan
Di dalam kereta yang melaju menderu, kutaruh semua bebanku, agar aku bisa mengenangmu dengan leluasa di sepanjang perjalananku.
Inilah perjalananku yang tanpa stasiuntujuan. Sebab stasiuntujuanku sudah berhenti di hatimu.Â
Adapun stasiun yang kulewati hanyalah pemberhentian sementara, tempat menaikturunkan cerita dan orang-orang yang terburuburu.Â
Seperti sebuah adegan di layar bioskop namun tanpa tokoh, tanpa konflik, tanpa penyelesaian. Aku hanya melihat tanpa terlibat. Begitulah dari stasiun ke stasiun berikutnya.Â
Sementara keretaku terus menderumelaju, menuju asal muasalku
50
Orang-orang Proyek
Gatal tangan kami kalau diam saja,
Pegal badan kami kalau tak bekerja,
Gagal hidup kami kalau tak berkarya.
Matahari membakar, kami tetap tegar
Hujan menghujam, kami makin menajam
Angin santer menyilet, kami menyatu menderet
Petir menyambar, kami berkawin sabar
Kami tidak membangun bangunan, tapi masa depan
Lagu kami bukan kekalahan, tapi lagu kejayaan
Keringat kami adalah emas
Darah kami adalah permata
Debu bagi kami adalah mainan
Otot kami menjelma kawat
Tulang kami sekeras besi
Kulit kami legam nan liat
Sekali mengayunkan godam, itulah tanda terciptanya satu peradaban
Karena kami adalah Orang-orang Proyek
Tasikmalaya, 20 Oktober'17
51
Fragmen siang
Aku dan perempuan itu berbaring kelelahan dan saling tatap. Sejenak hening menjadi tuan. Tiba-tiba dia bertanya setengah berbisik : "tadi kau cukur kumismu ?". kulihat matanya menyelidik bagian atas bibirku. "iya. Kenapa ?", tanyaku setengah berbisik juga. "masih ada dua tiga larik rambut yang tersisa," jelasnya, "aku akan mencukurnya. Kamu berbaring saja di sini. Aku kan ke kamar mandi mengambil alat cukur.lantas dia bangkit dari ranjang dan melenggang. Kulihat lekuk tubuhnya yang telanjang hilang di balik pintu kamar mandi.
52
untuk R
Seorang kekasih berbisik pada pacarnya : " Cintaku tak hilang, aku hanya menyimpannya. Ia tak membesar, aku hanya menjaganya. Kau abadi dalam cintaku." Â
Dan pagi pun rebah bersama rintik hujan, kabut dan ciuman-ciuman yang menusuk. Udara cemburu dan matahari memerah wajahnya.
Dan sebelum pagi usai, kedua kekasih itu telah terbang menembus langit, bertemu malaikat dan bidadari.
53
Radya Pustaka Senja Hari
: untuk Museum Radya Pustaka Surakarta
Udara beku di pintu-pintunya
Kesunyian merayap
Lewat terali besi jendela
Angin berhembus, satu satu mengalur
Memantul pada dinding-dinding
yang putih dan dingin
Kemudian mengendap dan menyergap diam-diam
Arca, prasasti, buku-buku tua,
panji-panji dan pusaka
hadirkan jejak para leluhur
mengajarkan bagaimana mengolah kehidupan
dengan pikir dan rasa
agar anak cucu
tahu memaknai sejarah,
mengukir keabadian kisah.
Benda-benda di sini
tidaklah mati
Mereka bercahaya
Seperti bintang-bintang
Menerangi nelayan,
memberi tanda pada petani.
Karena itu kilau terangnya
harus terus dijaga
dari debu jaman tua
( dua turis asing
memotret patung Dewa Syiwa
yang patah satu tangannya
dan di jalan
orang-orang saling kejar
menuruti ambisi yang lapar )
Sungguh
ini bukanlah menunggu saat kematian tiba
sebab bertahan dalam diam
adalah ruang sudut yang berbeda
Meski nafas tinggal sisa
tak surut dalam pergulatan
Terkapar atau jaya
bukanlah esensinya
Radya PustakaÂ
dialah kesetiaan
kepada mutiara peradaban
Hingga kita tak perlu ke Belanda
untuk mengerti wajah moyang sendiri
Sala, September 1997
54
Nyanyianku
Aku mencintaimu
dengan merdeka
Menyelami ke-apaada-anmu
Kemudian memeluknya
dalam dekapan rindu
"Embun pagi luruh di ujung daun
Menetes pelan membasahi tanah"
Aku mencintaimuÂ
dengan segenap usia
Mempersembahkan hidupkuÂ
Melewati hari hingga menua tiba
"Sepasang kupu-kupu bercumbu
Singgah dari bunga ke bunga
Kemudian mengangkasa bersama"
Aku mencintaimu
dengan sedikit bicara
karena cintaku
bukan semata kata
55
Malam di Sudut Purwosari
Malam diam, angin mematung
Berkelindan ruam dengan dingin
Musik malas lamat-lamat merambat
Jalanan kadang tumpah ruah,kadang lengang
Pikiran melayang menerka-nerka
Melampaui batas sunyi
Diregam waktu yang diam-diam menyelusup
Menjelma keabadian
Malam diam, angin mematung
Seperti rinduku
Yang beku menggigil tiada ujung
dan tanpa pelukanmu
56
Persekutuan Angin dan dahan
" Terima kasih," kata dahan kepada angin, "Engkau mau singgah sebentar, mengusir asap knalpot yang menyesaki hidungku." "Kau tahu mengapa kulakukan itu? karena aku menyayangimu,'' jawab angin sambil terus menyiumi dahan dengan lembut dan pelan-pelan
57
Cinta di Pagi Ini
Di pagi ini yang berpesta hangatnya matahari, aku lihat di pinggir pertigaan jalan besar seorang suami yang memboncengkan istrinya menghentikan sepeda motornya. Kemudian istrinya turun. Berdua mereka melepaskan helm masing-masing. Mereka saling mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sang istri mencium tangan suaminya dilanjutkan mencium pipi kanan kiri dan diakhiri mencium kening suaminya. Suaminya pun melakukan hal yang sama. Mencium tangan istrinya dengan lembut, terus mencium pipi kanan kiri dan kening istrinya.
Dari jauh aku hanya terpana. dadaku berdesir dan berbisik halus : "Gusti, I love YOU, full," sambil menahan tumpahan air mata.
58
Dimana, di sini
Dimana kata
Dimana warna
Dimana masa
Dimana rupa
Dimana batas
Dimana engkau
Dimana aku
lalu engkau aku bertemu
Dada tiba-tiba mengembang
bagai kembang di taman
Kepala mendadak penuh ingatan
bagai lemari berjejal pakaian
akhirnya engkau aku menyatu
Seketika terjawab semua tentang kata, warna, masa, rupa, batas, engkau dan aku
Seketika semua bergetar menderu
di sini Kekasih, di urat nadiku
59
Perempuan Berbaju UnguÂ
Hai Perempuan Berbaju Ungu, engkau nampak gemuk sekarang. Pipimu padat mengembang dengan rona merah di tulang pipi.
Membuatmu semakin indah, mengalahkan indahnya bunga apapun.
Adapun rambutmu, amboi, tergerai menawan diusap angin.
60
Perih
layangan putus. meliukliuk kaya orang mabuk, meninggi terus meninggi hingga akhirnya dilemparkan angin meluncur deras ke bawah dan terhempas di ranting-ranting pohon. sebentar kemudian, tercabik-cabik ia....
aku meringis perih melihatnya.......
61
Perempuan Berbaju Ungu-2Â
Perempuan Berbaju Ungu, semalam kau datang lagi di mimpiku. Kita berpelukan erat dan saling berpandang lekat.
Paginya saat bangun aku letih, tertekan,rindu dan merana.
Perempuan Berbaju Ungu, engkau dimana ?
62
Selalu rindu itu datang berulang dan bergelombang
Aku adalah lidah gelombang yang berulang-ulang menjilati bibir pantai
dan rinduku berkali-kali datang menyapa jantungmu
Kaulah pesona
Dan aku terkapar lelap di hangat pelukmu
63
Minggu pagi di saat orang-orang joging
Entah berapa kali kita bicara tentang awan, angin, langit dan matahari
Di sela-sela pembicaraan itu kita tergelak seperti anak kecil yang melihat tingkah badut.
" Lihat, langitnya mulai mendung. Ayo kita pulang sebelum hujan datang," katamu. "Tidak," balasku cepat. " Aku ingin kita berhujan hari ini. Aku menyukai rambutmu yang basah dan lunglai menahan air hujan. Dan aku ingin mengusap larik-larik air yang mengaliri pipimu sambil kusisikkan : engkau cantik."
64
melingkar
Sel-selku bergetar
Hormonku bergetar
Syarafku bergetarÂ
Ototku bergetar
Kelaminku bergetar
SEMESTA BERGETAR
Berputar-putar, melingkar-lingkar
Tiada awal,tiada akhir
Tiada hulu, tiada hilir
Menggelombang menjalar-njalar
SEMESTA MENGGELAR
Berdengung-dengung
Dalam gelembung
Tanpa selubung
SEMESTA MENGGULUNG
65
Terbuai
Akulah Sysipus. Aku  tidak ingin mengangkat batu lagi. Aku ingin piknik melihat laut, karena di gunung ini hanya kulihat batu-batu yang kaku.
Waktu tak pernah beranjak. Hanya berputar-putar. Tiada awal - tiada ujung. Mengabuti langkahku.
Akulah Sysipus. Kurindu usapan sapu tanganmu di keningku
66
Jalan Rasa
HeningÂ
Bening
Meliputi
MenyelimutiÂ
TenangÂ
Mengalir
Berputar
Berpusar
Daya merengkuh
Melebar meneguh
Kilasan kilatan pikiran
Bermain mempermainkan
Monyet liar lepas kendali
Berganti-ganti rupa
Berubah-ubah hawa
Sungguh sangat susah digenggam
Terlepas menjauh
Dalam titian serambut dibelah sejuta
Untuk menemu
dan memeluk
AKU
67
MIJIL
Matahari menyalaÂ
Hari berganti rupa
Aku melangkahÂ
Menembus kabut, menerobos halimun
Anak-anak burung belajar terbang
Kakiku tertusuk kerikil
Bebatuan menghujam tulang
Langkahku tertahan masa silam
Aku diliputi ketakutan
Langit pun makin gelap
Langkahku meruang mewaktu
Abad menjauhkanku
Ruang menguburku
Jarak menyilaukanku
akhirnya kuhentikan langkah
saat letih dan berdarah
hela nafas membuka cakrawala
Ada yang menyawa di diriku
aku yang satu
AKU YANG SATU
berkelindan berpilin berkawin
dalam
aku yang satu
AKU YANG SATU
: KONTHORUPO
KONTHORUPOOÂ
JENENGSIRO MIJILO PANJENENGAN INGSUN KAGUNGAN KARSOÂ
ARSO MBEKSOÂ
MBEKSANIRO PRIBADI
68
Sketsa sore hari yang lelah
"Keningmu basah," kataku padanya di sore itu sembari kuulurkan tangan untuk mengusap keningnya. Lalu dengan cepat dia tahan tanganku dan berbisik :"Bukan dengan tangan. Tapi dengan dengan kecupan." Tiba-tiba entah bagaimana awalnya sore menjadi desah dan basah.
69
Menujumu
Kemana cinta akan kuarahkan ?
Apakah ke timur saat matahari terbit ?
Atau ke barat saat matahari tenggelam ?
Tidak !
Cinta kuarahkan ke hatimu saja
Biar selalu bersemi tanpa peduli musim
70
Pulang
Akankah aku pulang ke peraduan ataukah ke haribaan?
Angin mengirim berita duka
Udara membawa samsara
Tanah berdebu jeruji
Dan aku tanggal kini
Langkah ini sudah tak lagi bisa kuangkat
Bertimbun berat dan penat
waktu tak menawariku istirahat
Di tengah matahari yang menyengatÂ
Apakah aku akan pulang ke pelukan atau peristirahatan ?
Waktu merambat beku
Matahari pasi
Laut cemberut
dan bumi memumi
Kemanakah aku akan pulang, Kekasihku ?
71
Sajak tentang kursi-kursi yang ada di beranda belakang
Apakah cinta jika angin melesatkan kemarau ?
Apakah damba jika nama menggaungkan parau
Itulah mulanya angin tiba-tiba menyapa sengau
Lalu keduanya lenyap bersama sore yang terang dan memukau
Setelah itu terbitlah rindu yang, oh, tak lagi bisa kuhalau
72
Sabda
Jangan kau cari AKU di siang hiruk
Atau di gulita malam
Tapi pejamkan matamu
Karena AKU ADA di balik hatimu
73
Taifun
Musik berdentam. Dada digedor. Dalam gelap kelelawar berputar-putar, menyambar-nyambar. Putung rokok dan abu mengotori meja yang basah dibanjiri tumpahan bir dan Jack D. Ruangan pengap dan sesak oleh hasrat, tawa, asap rokok, bualan dan kepalsuan.Â
Dada meledak liar. Tak tahu dimana dan mau apa.Â
Mata nanar. Menelanjangi kumparan semesta.
Telinga menangkap gelegar. Suarasuara menjadi tak bermaknaÂ
Kelamin terkapar. Birahi menelan cinta
Sedetik kemudian segalanya menjadi pekat
Dan selanjutnya sekarat
74
Masih Termangu Terpesona di Malam Minggu Ke Tiga Puluh di 2019
Jadi begini Kekasih, kenapa malam mingu ini aku masih saja termangu, takjub dan terpesona sampai hilang kata ?
Karena siang tadi aku menerka rindu akn datang bersama angin yang setelah itu akn hinggap di hati para perindu seperti aku.
Ternyata terkaanku keliru. Rindu bukan saja datang bersama angin. Namun ia juga datang bersama sinar matahari, hiruk pikuk suara semesta, aneka rupa warna dan beragam bau daun, batu, air, debu, asap, kulit pojon, cucian kertas tisu, rokok, kopi, handphone, gunting, beras dan ah, pokoknya di setiap yang ada.
Sesudahnya ia bukan hanya hinggap tapi juga berbiak-biak tanpa batasan dan ukuran. Ia bukan saja memenuhi hatiku tapi juga nafasku bahkan hidupku.
Dan kini aku hanya bisa termangu terpesona dan hilang kata, tidak sendiri apalagi kesepian.
Aku penuh rindu padamu.