Referensi terhadap AI sebagai entitas transformatif yang mengubah struktur ekonomi, sosial, dan etika sangat minim dan tidak substansial.
Dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus selama lima tahun terakhir, istilah "kecerdasan buatan" (AI) nyaris tidak muncul atau hanya disinggung secara simbolik, tanpa strategi atau peringatan etis yang memadai.
Tidak ada penjabaran tentang risiko otomatisasi tenaga kerja, bias algoritmik, ketimpangan teknologi, atau pergeseran epistemologi pengetahuan akibat generative AI.
Sebagai perbandingan, PM Kanada, Presiden Korea Selatan, hingga Presiden Prancis secara aktif membentuk AI national narrative yang mengaitkan teknologi dengan arah budaya dan peradaban.
2. Fragmentasi dan Sektorialisasi Wacana di Level Menteri
Menteri Kominfo, Menristek/BRIN, Mendikbud, dan Menteri Bappenas adalah aktor-aktor kunci dalam membentuk ekosistem AI. Namun:
Wacana yang mereka bangun cenderung parsial dan teknokratik. Kominfo fokus pada regulasi infrastruktur TIK dan literasi digital dasar, tanpa menyentuh diskursus strategis AI. BRIN lebih menekankan aspek riset, tetapi belum berhasil membangun narasi terintegrasi yang menghubungkan riset dengan arah kebijakan nasional. Kemendikbud belum menjadikan AI sebagai katalis perubahan paradigma pendidikan secara sistemik.
Hingga kini, tidak ada dokumen resmi AI National Strategy Indonesia yang bersifat interdisipliner, multidimensi, dan berbasis nilai-nilai Pancasila atau orientasi geopolitik kebudayaan Indonesia.
3. Ketidakhadiran Narasi Etis dan Kultural
Hal yang paling mencolok adalah ketiadaan narasi etis, spiritual, dan kultural dalam menyikapi AI. Tidak ada pejabat publik yang:
Mengangkat potensi AI sebagai tantangan moral umat manusia,