Nilai budaya lokal akan tergeser.
Bahasa Indonesia dan bahasa daerah akan terpinggirkan.
Polarisasi dan misinformasi dapat meningkat karena algoritma yang mengutamakan engagement daripada empati.
Seperti dikemukakan Shoshana Zuboff dalam Surveillance Capitalism, algoritma global hari ini "membajak masa depan dengan memonopoli prediksi perilaku."
C. Membangun Kedaulatan Digital sebagai Gerakan Sosial
Kedaulatan data dan algoritma bukan sekadar proyek teknis, tetapi agenda politik dan kultural. Narasi ini mengajak masyarakat untuk:
Membangun pusat data lokal yang transparan dan etis.
Mengembangkan algoritma berbasis nilai-nilai Pancasila, keragaman budaya, dan empati sosial.Mendorong literasi data agar publik sadar bagaimana perilaku mereka diproses dan dimonetisasi.
Studi dari Digital Public Goods Alliance menunjukkan bahwa negara-negara seperti India (melalui IndiaStack), dan Kenya (melalui Ushahidi), telah berhasil membangun ekosistem data dan algoritma berbasis kedaulatan lokal untuk mendukung pelayanan publik dan demokrasi digital.
D. Narasi Baru: Dari Pengguna Menjadi Pemilik
Kita perlu beralih dari paradigma "pengguna teknologi" menjadi pemilik ekosistem digital. Data lokal harus dikelola secara demokratis, melibatkan komunitas, universitas, dan lembaga adat. Algoritma tidak boleh hanya dibentuk di Silicon Valley; ia harus dikodekan dari sawah, pasar, pesantren, dan kampung.