Kepemilikan bersama atas algoritma yang memengaruhi hidup masyarakat.
D. Membangun Narasi yang Membela, Bukan Menindas
Narasi AI mandiri harus berpihak. Ia harus berpihak kepada mereka yang paling rentan di tengah disrupsi. Seperti kata Amartya Sen, "keadilan bukan hanya soal merancang lembaga, tetapi mengatasi penderitaan yang nyata." Di sinilah pentingnya membangun narasi yang bukan netral, tetapi berkomitmen pada pembebasan dan keberdayaan.
Jembatan ke subbagian selanjutnya:
 Tanpa keadilan sosial, narasi AI akan menjadi dongeng elit di tengah banjir data dan kelaparan makna. Maka pilar kedua yang harus kita bangun adalah Narasi Literasi dan Kedaulatan Kognitif, agar masyarakat tidak hanya menerima, tetapi memahami dan mengendalikan narasi digital mereka sendiri.
2. Narasi Kedaulatan Algoritma dan Data Lokal
Di abad ke-21, data adalah minyak baru, namun lebih dari sekadar komoditas: data adalah cermin jiwa kolektif suatu bangsa. Dalam lanskap digital global saat ini, Indonesia tak ubahnya ladang minyak yang dikeruk tanpa kendali---algoritma asing memanen perilaku, emosi, dan bahkan pilihan politik masyarakat kita. Narasi AI mandiri harus menegaskan: data dan algoritma adalah wilayah kedaulatan, bukan sekadar aset ekonomi.
A. Data sebagai Representasi Kolektif
Setiap klik, rekaman CCTV, unggahan media sosial, dan transaksi digital menyusun identitas digital Indonesia. Namun ironisnya, sebagian besar data ini dimiliki, diolah, dan disimpan di luar negeri---oleh perusahaan raksasa seperti Google, Meta, TikTok, dan OpenAI.
 Menurut laporan Global Data Barometer (2023), Indonesia tergolong lemah dalam kategori data governance, khususnya dalam hal keterbukaan data publik, perlindungan privasi, dan transparansi penggunaan algoritma.
Tanpa kontrol atas data, kita tidak mengendalikan narasi---kita hanyalah karakter figuran dalam cerita digital yang ditulis orang lain.
B. Algoritma: Logika yang Mewakili Siapa?
Algoritma bukan netral. Ia diciptakan oleh manusia, dengan asumsi, nilai, dan bias tertentu. Jika algoritma AI yang digunakan di Indonesia berasal dari luar negeri tanpa adaptasi lokal, maka: