Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Indonesia Menghadapi Disrupsi AI Tanpa Pemimpin Visioner

24 Mei 2025   16:50 Diperbarui: 24 Mei 2025   16:50 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Paul Ricoeur, dalam karya besarnya Time and Narrative (1984), menyatakan bahwa narasi bukan hanya cara menceritakan waktu, melainkan struktur fundamental dalam memahami eksistensi manusia. Ia menekankan konsep "emplotment"---yakni bagaimana manusia mengatur peristiwa acak dalam kerangka cerita yang memiliki awal, tengah, dan akhir yang bermakna. Dengan kata lain, masyarakat membentuk jati dirinya melalui kemampuan membangun cerita yang kohesif tentang siapa mereka dan ke mana mereka menuju.

Dalam konteks Indonesia menghadapi AI, kita melihat kegagalan dalam emplotment: tidak ada narasi besar yang mampu menjelaskan secara meyakinkan di mana posisi Indonesia dalam gelombang disrupsi ini, siapa "kita" di hadapan AI, dan masa depan seperti apa yang sedang dibangun bersama. Ini adalah krisis identitas dan arah.

Yuval Noah Harari memperluas gagasan ini dalam Sapiens dan Homo Deus, dengan menyatakan bahwa manusia menguasai dunia karena kemampuan kolektifnya menciptakan dan mempercayai narasi bersama---tentang agama, negara, uang, dan hukum. Dalam era AI, kata Harari, akan muncul narasi baru yang menyaingi narasi-narasi lama, dan siapa yang mengendalikan narasi baru itu akan mengendalikan masa depan umat manusia.

Namun saat ini, narasi AI di Indonesia bukanlah milik rakyat, melainkan milik korporasi global, elite teknokrat, dan segelintir pemilik modal. Rakyat Indonesia menjadi konsumen, bukan pencipta narasi.

Ratu Narasi sebagai Simbol Sosial

Dalam konteks ini, gagasan "Ratu Narasi AI" yang ditawarkan tulisan ini adalah metafora kolektif tentang kebutuhan masyarakat Indonesia untuk membangun kembali orientasi bersama secara swadaya---suatu sumber makna yang mengarahkan keputusan politik, ekonomi, dan budaya dalam menghadapi AI. Jika elite politik adalah "ratu lebah" yang mati dan kehilangan feromon arah, maka masyarakat harus melahirkan Ratu Narasi baru---berbasis pengetahuan, etika, dan visi jangka panjang.

Konsep ini berpijak pada tiga pilar:

1. Narasi sebagai Infrastruktur Sosial: Menggantikan ketergantungan pada kebijakan elite dengan penciptaan narasi berbasis komunitas, pendidikan, dan kesadaran digital.

2. Narasi sebagai Daya Tahan: Menjadi alat melawan alienasi, ketakutan, dan ketimpangan yang lahir dari disrupsi AI.

3. Narasi sebagai Instrumen Kepemimpinan Sosial: Menghidupkan kembali fungsi "kepemimpinan adaptif" dari bawah (bottom-up), sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Heifetz, di mana masyarakat memimpin dirinya melalui pembelajaran, dialog, dan aksi kolektif.

B. Kenapa Masyarakat Harus Membentuk Narasi Sendiri: Pelajaran dari Gerakan Teknologi Akar Rumput di India, Kenya, dan Brasil

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun