C. Tujuan dan Urgensi Tulisan
Tulisan ini lahir dari kegelisahan sekaligus kesadaran: bahwa di tengah gelombang transformasi peradaban yang dibawa oleh kecerdasan buatan, Indonesia justru mengalami kekosongan naratif dan ketimpangan strategis yang dapat berujung pada krisis sistemik multidimensi, ekonomi, sosial, politik, bahkan eksistensial.
Tujuan utama tulisan ini adalah untuk membunyikan alarm peradaban. Ia berupaya membuka mata publik dan elite bahwa kekosongan narasi AI bukan sekadar masalah komunikasi atau teknologi, melainkan ancaman terhadap arah kolektif bangsa. Narasi bukan hanya cerita; ia adalah infrastruktur kognitif dan emosional yang membentuk orientasi kebijakan, prioritas investasi, sistem pendidikan, bahkan moralitas kolektif.
Lebih spesifik, tulisan ini bertujuan untuk:
1. Mengeksplorasi AI sebagai arus peradaban yang menggeser fondasi sistem sosial-politik dan ekonomi global.
2. Menganalisis posisi Indonesia dalam lanskap global AI, termasuk kesenjangan kebijakan dan stagnasi narasi elite.
3. Mengajukan kerangka konseptual baru: "Ratu Narasi AI" sebagai metafora peran kepemimpinan publik yang inspiratif, adaptif, dan sistemik dalam ekosistem disrupsi.
4. Menawarkan argumentasi bahwa jika negara gagal menyediakan narasi strategis, maka masyarakat sipil harus mengambil alih fungsi tersebut melalui inisiatif mandiri dan swadaya kolektif.
Urgensinya terletak pada fakta bahwa kita tidak punya kemewahan waktu.
Gelombang AI bukan ancaman di masa depan, ia sudah menyusup ke dalam algoritma pinjaman online, sistem absensi sekolah, seleksi ASN, hingga moderasi konten dakwah. Setiap hari kita bergerak dalam ekosistem digital yang dibentuk oleh kode-kode tak terlihat, dipandu oleh logika yang tak selalu netral.
Tanpa narasi besar yang menuntun arah, AI akan menjadi instrumen reproduksi ketimpangan baru, memperparah kolonialisme data, dan merusak fondasi demokrasi. Oleh karena itu, tulisan ini adalah ajakan, bukan sekadar analisis; sebuah seruan kolektif untuk membangun arah baru yang berpijak pada keadilan digital, kedaulatan algoritmik, dan kecerdasan sosial.
Jika para elite gagal menciptakan arah, maka rakyat harus menjadi arsitek narasi. Di tengah kekosongan "ratu", kita semua adalah lebah pekerja yang sedang membangun kembali koloni dengan harapan baru, dan itulah mengapa tulisan ini harus ada.