Jika India, Kenya, dan Brasil bisa, kenapa Indonesia tidak?
Kita memiliki ratusan komunitas teknologi, pesantren digital, laboratorium kampus, dan LSM dengan kapasitas luar biasa. Namun, tanpa narasi pemersatu, mereka tercerai-berai. Indonesia perlu menyadari bahwa membiarkan elite politik mendefinisikan AI tanpa keterlibatan masyarakat sama saja dengan menyerahkan masa depan kepada ratu lebah yang sudah mati. Sebaliknya, ketika masyarakat menyusun narasi sendiri, mereka menciptakan arah dan makna yang relevan, etis, dan berkelanjutan.
C. Ratu Narasi sebagai Organisme Sosial: Adaptasi dan Evolusi Arah Tanpa Pusat Komando Tunggal
Bayangkan sebuah organisme hidup yang bergerak, beradaptasi, dan berevolusi tanpa perlu perintah tunggal dari otak pusat---itulah ratu narasi dalam konteks masyarakat. Tidak seperti struktur kekuasaan hierarkis yang menggantungkan arah pada satu titik komando (presiden, menteri, elite partai), narasi yang lahir dari rakyat bekerja seperti kecerdasan kolektif (collective intelligence) dalam koloni lebah, burung, atau jaringan digital.
1. Teori Sistem Kompleks dan Adaptif
Dalam teori sistem kompleks adaptif (Complex Adaptive Systems) yang dijelaskan oleh ilmuwan seperti Ilya Prigogine, Edgar Morin, dan Melanie Mitchell, masyarakat tidak selalu membutuhkan struktur pusat untuk beradaptasi terhadap perubahan. Yang dibutuhkan adalah aturan sederhana, agen-agen otonom, dan kemampuan untuk belajar serta menyesuaikan diri secara lokal.
Narasi sosial dalam konteks ini bersifat emergen---ia tumbuh dari interaksi antara individu, komunitas, dan pengalaman-pengalaman sehari-hari. Ketika ribuan mikro-narasi saling terhubung, mereka membentuk arah kolektif tanpa harus dikendalikan oleh satu figur sentral.
2. Narasi Sebagai Imunitas Sosial
Seperti sistem kekebalan tubuh, narasi kolektif yang dibangun bersama menyaring informasi, mengenali ancaman, dan membentuk respons sosial yang sesuai. Di tengah disrupsi AI, masyarakat yang tidak punya ratu narasi akan mengalami kebingungan massal, terseret oleh hoaks, tak siap terhadap automasi, dan tergilas oleh algoritma yang tak mereka pahami.
Sebaliknya, masyarakat yang punya ratu narasi sosial yang hidup---meski tanpa satu pemimpin tunggal---mampu membentuk refleksi kolektif: apa yang baik, apa yang penting, dan ke mana kita harus melangkah bersama.
3. Implementasi dalam Konteks Indonesia