Toynbee dalam A Study of History menyatakan bahwa peradaban bertahan bukan karena kekuatan ekonomi atau militer, tetapi karena kemampuan merespons tantangan besar melalui kreativitas minoritas pemimpin yang visioner. Jika respons bersifat mekanis atau terlalu defensif, maka peradaban akan stagnan dan runtuh.
"Civilizations die from suicide, not by murder." ---Arnold J. Toynbee
Dalam konteks Indonesia, stagnasi narasi elite terhadap AI adalah bentuk bunuh diri peradaban diam-diam. Tidak ada creative minority yang memikul tanggung jawab untuk membentuk respons kolektif berbasis pengetahuan, etika, dan imajinasi.
Ketiga pemikir ini menyuguhkan benang merah: bahwa dalam masa-masa krusial seperti era disrupsi AI, kepemimpinan bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan biologis-sistemik. Seperti feromon dalam koloni lebah, kepemimpinan menyediakan arah, stabilitas, dan rasa keterikatan. Tanpa itu, masyarakat terjerembab ke dalam ketidakpastian yang menghasilkan dua kemungkinan ekstrem: kegaduhan massa tanpa arah, atau dominasi kekuatan teknokratis tanpa legitimasi moral.
Dan hari ini, kita berada di titik bifurkasi itu.
B. Analogi Ratu Lebah dan Kegagalan Elite dalam Memberi Arah
Dalam koloni lebah, keberadaan sang ratu bukan hanya simbol kekuasaan biologis, tetapi penopang kohesi sosial dan arah sistemik. Ratu lebah memancarkan feromon yang menstabilkan perilaku seluruh koloni---mengatur fungsi reproduksi, menjaga ketertiban kerja, hingga memastikan kolaborasi dalam ekosistem kompleks yang terus berubah.
Ketika sang ratu mati, feromon kepemimpinan menghilang.
 Koloni pun jatuh dalam kondisi krisis: pekerja mulai bertindak kacau, orientasi berubah dari kolektif menjadi acak, dan kekosongan kepemimpinan itu menciptakan kegelisahan sistemik. Bila tidak segera muncul ratu baru---atau struktur alternatif yang mengisi ruang itu---koloni akan gagal mempertahankan keberlanjutan hidupnya.
Indonesia hari ini ibarat koloni yang feromon kepemimpinannya memudar.
Elite politik dan birokrasi, baik di pusat maupun daerah, sejauh ini belum menunjukkan kapasitas naratif, strategi jangka panjang, maupun keberanian moral untuk menavigasi gelombang AI. Yang terjadi justru sebaliknya:
Wacana publik tentang AI direduksi menjadi slogan-slogan teknokratis: "transformasi digital", "ekonomi kreatif", "society 5.0"---tanpa kedalaman konseptual maupun arah strategis.