Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Indonesia Menghadapi Disrupsi AI Tanpa Pemimpin Visioner

24 Mei 2025   16:50 Diperbarui: 24 Mei 2025   16:50 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Memastikan bahwa transisi ke ekonomi digital dan hijau tidak menambah ketimpangan sosial dan ruang hidup masyarakat adat dan lokal.

Narasi teknologi yang tidak memikirkan ekologi adalah narasi yang sia-sia---sebuah peradaban yang membangun menara digital di atas fondasi yang rapuh.
Indonesia harus menempatkan keberlanjutan sebagai roh utama dalam narasi AI mandiri, agar teknologi yang kita bangun menjadi berkat, bukan kutukan, bagi generasi sekarang dan mendatang.

Bab V: Strategi Pembangunan Narasi oleh Masyarakat Sipil

A. Peran Komunitas, Universitas, Pesantren, dan Organisasi Sipil

Di tengah kekosongan narasi kepemimpinan elite soal AI, masyarakat sipil harus mengambil peran sentral sebagai motor penggerak pembangunan narasi AI yang mandiri dan inklusif.

1. Komunitas Teknologi dan Digital Lokal
Komunitas seperti kelompok pengembang perangkat lunak, hacker komunitas, dan jaringan startup inovatif dapat menjadi laboratorium sosial yang mengembangkan narasi dan praktik AI sesuai kebutuhan lokal.
Contohnya, komunitas open-source di Indonesia seperti ID-SIRTII/CC, Hacktivist, dan CoderDojo mampu merumuskan standar etika, berbagi pengetahuan, dan membangun ekosistem edukasi berbasis kolaborasi.

2. Universitas sebagai Inkubator Ide dan Talenta
Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam menghasilkan riset terapan dan talenta yang mampu mengisi kekosongan kepemimpinan.
Lebih dari itu, universitas dapat menjadi pusat dialog multi-disipliner untuk menggabungkan perspektif teknologi, sosial, budaya, dan etika dalam narasi AI.
Program-program studi AI harus lebih diarahkan pada konteks lokal dan kebutuhan sosial, bukan sekadar teknis semata.

3. Pesantren: Pilar Kultural dan Pendidikan Alternatif
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional dan kultural berpotensi mengintegrasikan pembelajaran AI dengan nilai-nilai agama dan etika sosial yang kuat.
Ini menjadi kunci dalam membangun narasi AI yang tidak hanya maju secara teknologi tetapi juga berlandaskan nilai-nilai moral dan gotong royong.
Beberapa pesantren telah mulai mengembangkan program literasi digital dan coding yang bisa dikembangkan menjadi kurikulum AI berbasis nilai lokal.

4. Organisasi Sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Organisasi masyarakat yang fokus pada hak digital, keadilan sosial, dan lingkungan hidup dapat mengadvokasi regulasi, transparansi, dan inklusi dalam pembangunan AI.
LSM juga bisa menjadi mediator antara pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk memastikan narasi dan kebijakan AI tidak elitis dan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Strategi pembangunan narasi AI mandiri harus dimulai dari ruang-ruang sosial yang dekat dengan masyarakat---komunitas, kampus, pesantren, dan organisasi sipil---yang mampu berkolaborasi secara sinergis, mengisi kekosongan kepemimpinan dengan narasi dan aksi nyata.
Mereka adalah "Ratu Narasi" rakyat yang mampu memimpin tanpa tahta resmi, tetapi dengan pengaruh kolektif dan ide yang mengakar.

B. Desain Literasi Digital sebagai Gerakan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun