Meski Indonesia telah mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada 2022, implementasinya masih lemah dan tidak spesifik merespons dinamika AI:
UU PDP belum memuat klausul tentang AI-based data profiling, di mana algoritma memutuskan nasib seseorang berdasarkan histori datanya.
Tidak ada mekanisme kontrol atas penggunaan data warga negara dalam sistem AI milik pemerintah atau pihak ketiga (misal: CCTV dengan facial recognition, e-KTP yang terintegrasi dengan sistem prediktif).
Ketiadaan lembaga pengawas independen membuat perlindungan data rentan dikendalikan oleh kekuatan politik dan korporasi.
Dalam konteks AI generatif, data warga bisa dipakai melatih model tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka---menjadi bagian dari kapital digital global yang tak berbendera.
Kesimpulan Subbab
Ketidakhadiran regulasi yang menyeluruh terhadap AI di Indonesia adalah tanda krisis tata kelola masa depan. Bukan sekadar soal kurangnya hukum, tapi ketertinggalan dalam membayangkan apa itu keadilan, hak asasi, dan kerja di zaman algoritma.
Tanpa kerangka etis, proteksi kerja, dan perlindungan data yang memadai, Indonesia bukan sedang memasuki era AI, tetapi sedang memasrahkan nasibnya padanya.
C. Kasus-Kasus Dampak AI yang Mulai Terasa: Pengangguran, Disinformasi, Bias Algoritmik
Kecerdasan buatan, meski masih dianggap sebagai "teknologi masa depan", telah meninggalkan jejak yang nyata dan kasat mata di Indonesia---seringkali tanpa disadari oleh publik dan elite pengambil kebijakan. Di balik narasi euforia transformasi digital dan Revolusi Industri 4.0, mulai bermunculan gejala-gejala sosial yang mengindikasikan disrupsi senyap: pekerja yang perlahan tergeser, kebenaran yang dikaburkan mesin, dan keputusan-keputusan diskriminatif dari algoritma yang tak dapat dimintai pertanggungjawaban.
1. Pengangguran Struktural: Otomatisasi Diam-Diam