Kolaborasi antar daerah dan antar lapisan usia: menciptakan jejaring belajar lintas generasi.
Inkubator AI lokal yang tidak hanya memproduksi startup, tapi juga public innovators: guru, petani, pedagang, seniman yang memanfaatkan AI untuk perubahan sosial.
Pendidikan AI harus menjadi bagian dari narasi kebangsaan:
"Seperti dulu kita bangga bisa baca-tulis, kini kita harus bangga bisa berpikir algoritmis."
Regenerasi bukan hanya tentang keahlian, tetapi tentang martabat---bahwa anak Indonesia dari segala penjuru berhak menciptakan masa depan, bukan hanya menonton dari pinggir layar.
Narasi AI yang kita bangun tidak boleh elitistik; ia harus tumbuh dari desa, kampus, pasar, dan warung kopi---menjadi pendidikan dari rakyat, oleh rakyat, untuk masa depan semua rakyat.
5. Narasi Ekologi dan Keberlanjutan Teknologi
Teknologi tanpa batas bisa menjadi pedang bermata dua---memajukan peradaban sekaligus menghancurkan alam dan kehidupan yang menopangnya. Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah dan keanekaragaman hayati yang luar biasa, berada di persimpangan kritis. Narasi AI yang mandiri tidak bisa lepas dari kesadaran ekologis dan keberlanjutan teknologi sebagai prinsip fundamental.
A. Jejak Karbon dan Dampak Energi AI
AI modern, terutama model-model besar seperti GPT dan model pembelajaran mendalam lain, memerlukan sumber daya energi besar.
Menurut studi dari University of Massachusetts Amherst (Strubell et al., 2019), pelatihan satu model AI besar dapat menghasilkan emisi karbon setara dengan 5 mobil seumur hidupnya.
Indonesia, yang masih berjuang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, harus mengantisipasi lonjakan konsumsi energi dari sektor AI. Tanpa strategi hijau, AI bisa mempercepat krisis iklim.
B. Teknologi Berkelanjutan sebagai Pilar Kedaulatan Teknologi
Narasi mandiri harus menekankan pada: