Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Indonesia Menghadapi Disrupsi AI Tanpa Pemimpin Visioner

24 Mei 2025   16:50 Diperbarui: 24 Mei 2025   16:50 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Sejarah perubahan sosial sering kali bukan ditulis oleh tangan kekuasaan, melainkan oleh masyarakat yang memilih untuk tidak menunggu---yang membangun harapan dan solusi dengan tangannya sendiri. Dalam konteks disrupsi AI dan teknologi digital, pengalaman negara-negara berkembang seperti India, Kenya, dan Brasil menunjukkan bahwa masyarakat sipil tidak hanya bisa menjadi konsumen teknologi, tetapi juga penghasil makna, arsitek solusi, dan penjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam era otomatisasi.

1. India: Dari Narasi Digital Elite ke Narasi Inklusif

Pada awalnya, transformasi digital India dikuasai oleh korporasi besar dan elite politik yang membingkai AI for development dalam narasi top-down. Namun, muncul inisiatif akar rumput seperti Digital Empowerment Foundation (DEF) dan Gram Vaani, yang mendorong inklusi digital di desa-desa terpencil melalui teknologi murah dan lokal. Narasi bergeser: dari "AI untuk negara" menjadi "AI dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat."

Menurut laporan NITI Aayog (2021), inisiatif lokal yang mengaitkan AI dengan pertanian, kesehatan desa, dan literasi digital jauh lebih berkelanjutan karena tumbuh dari konteks dan kebutuhan riil masyarakat. India mengajarkan kita bahwa narasi yang berasal dari bawah lebih tahan krisis, lebih berakar, dan lebih adaptif.

2. Kenya: Teknologi sebagai Alat Pembebasan Sosial

Kenya dikenal dengan inovasi M-Pesa, sistem pembayaran digital yang lahir bukan dari Silicon Valley, tetapi dari kebutuhan rakyat yang tidak terlayani oleh sistem keuangan formal. Gerakan ini menunjukkan bahwa ketika teknologi dikembangkan dalam konteks budaya dan sosial lokal, ia mampu menciptakan dampak besar yang tidak terduga oleh peta kekuasaan global.

Tak hanya itu, gerakan seperti AI Kenya dan Data Science Africa tumbuh dari komunitas, universitas, dan hackathon independen. Mereka mengembangkan aplikasi AI untuk mendeteksi gagal panen, menyebarkan informasi kesehatan, dan menganalisis data urban. Narasi mereka bukan tentang ketertinggalan dari Barat, tapi tentang kemandirian pengetahuan.

3. Brasil: Pendidikan dan Komunitas Sebagai Ratu Narasi

Di Brasil, berbagai komunitas seperti Porto Digital di Recife dan Open Knowledge Brasil telah menunjukkan bagaimana kolaborasi antara aktivis, akademisi, dan pemuda bisa menghasilkan narasi yang tidak hanya kritis terhadap teknologi, tetapi juga produktif. Mereka membangun code school, data journalism hub, dan ruang diskusi publik untuk membongkar bias algoritma, memperjuangkan etika digital, dan menciptakan platform keterbukaan data publik.

Hal yang menarik, keberhasilan ini tidak lahir dari regulasi pusat, tetapi dari kesadaran kolektif bahwa masa depan digital tidak bisa diserahkan pada pasar dan negara semata. Dalam konteks ini, ratu narasi adalah komunitas itu sendiri.

Refleksi untuk Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun