Mengaitkan AI dengan keadilan sosial, hak asasi manusia, atau nilai-nilai kearifan lokal,
Menjawab pertanyaan eksistensial tentang masa depan manusia dan makna kerja di tengah otomatisasi.
Ketiadaan wacana ini membuka ruang kosong yang berbahaya, karena:
"Jika negara tidak membentuk narasi tentang AI, maka narasi itu akan dibentuk oleh pasar dan algoritma yang tak berwajah."
Kesimpulan Subbab
Wacana elite Indonesia terkait AI menunjukkan gejala defisit imajinasi strategis dan absennya kepemimpinan naratif. Baik dalam isi pidato presiden maupun pendekatan sektoral menteri-menteri terkait, tidak ada kerangka konseptual yang utuh, mendalam, dan menggugah kesadaran publik tentang disrupsi AI.
Ini bukan semata-mata kelalaian teknis, tapi indikasi dari kegagalan epistemik---yakni ketidakmampuan untuk melihat, memahami, dan memaknai zaman yang sedang berubah.
B. Minimnya Regulasi AI yang Mengatur Etika, Ketenagakerjaan, dan Data
Kemajuan teknologi, jika tidak diimbangi oleh regulasi yang adaptif dan etis, akan melahirkan ketimpangan struktural, alienasi sosial, dan eksploitasi digital. Dalam konteks AI, regulasi bukan sekadar kumpulan pasal, tetapi penentu arah peradaban. Sayangnya, Indonesia saat ini masih berada dalam zona vakum normatif terkait kecerdasan buatan. Regulasi yang ada bersifat parsial, reaktif, dan belum menyentuh aspek-aspek krusial dalam transformasi AI.
1. Etika AI: Kosongnya Pilar Moral
Hingga 2025, Indonesia belum memiliki kerangka etika nasional khusus untuk pengembangan dan penerapan AI. Padahal, negara-negara seperti Uni Eropa telah mengembangkan AI Ethics Guidelines yang mencakup prinsip keadilan, transparansi, non-diskriminasi, dan keamanan. Beberapa fakta penting: