"Aku memperhatikan," jawab Umer sambil tersenyum santai.
Mereka tertawa kecil, lalu melanjutkan obrolan tentang proyek. Umer selalu menyelipkan komentar ringan yang membuat Nisa tersenyum, dan Nisa mulai merasa nyaman---bahkan lebih dari sekadar rekan kerja.
Namun, chemistry mereka tidak selalu mulus. Perbedaan budaya mulai terlihat ketika Umer mengajak Nisa makan siang di restoran Pakistan yang otentik.
"Cobalah ini," kata Umer sambil menunjuk hidangan pedas.
Nisa menatap piringnya ragu. "Aku biasanya tidak terlalu kuat pedas..."
Umer menepuk bahunya. "Tenang, aku akan tunjukkan caranya. Kau akan suka."
Mereka mulai makan bersama, bercanda tentang rasa makanan, dan saling menebak bahan rempah yang digunakan. Suasana hangat itu membuat Nisa merasa dekat, tapi ada kesadaran bahwa kehidupan Umer penuh aturan dan tradisi yang berbeda dari dirinya.
BAB 5: AWAL KONFLIK BUDAYA
Suatu sore, Umer mengajak Nisa ke rumahnya di Bali. Rumah itu kecil tapi rapi, dengan dekorasi khas Pakistan---karpet, lampu gantung, dan hiasan kaligrafi.
"Biasanya keluargaku sangat peduli tentang adat dan tradisi," kata Umer sambil menyeduh teh.
Nisa mencoba memahami, tapi beberapa hal terasa asing. Cara Umer berbicara tentang tanggung jawab terhadap keluarga, tentang bagaimana seorang pria harus memenuhi ekspektasi orang tua, membuatnya sadar bahwa hidup bersama Umer kelak mungkin akan penuh tantangan.