Nisa menatapnya kaget. "Bagaimana kamu bisa tahu?"
Umer tersenyum santai. "Aku memperhatikan. Jangan bilang aku terlalu teliti, ya."
Hati Nisa berdebar. Perhatian kecil seperti ini membuatnya merasa dilihat, lebih dari sekadar rekan kerja. Ia menerima kopi itu dengan senyum.
Mereka mulai berbincang ringan tentang proyek yang sedang dikerjakan. Umer selalu menyelipkan komentar lucu di saat tepat, membuat Nisa tertawa meski kepala terasa berat karena rapat pagi yang panjang.
Hari demi hari, mereka semakin sering bertukar ide dan membantu satu sama lain. Namun, perbedaan budaya mulai terlihat ketika Umer mengajak Nisa makan siang di restoran Pakistan yang otentik.
"Cobalah," katanya sambil menunjuk hidangan pedas di meja.
Nisa menatap piringnya, ragu. "Aku biasanya tidak terlalu kuat pedas..."
Umer menepuk bahunya ringan. "Tenang, aku akan tunjukkan caranya. Kamu akan suka."
Mereka mulai makan bersama, sesekali bercanda tentang kepedasan dan rasa makanan. Suasana menjadi hangat, penuh tawa, namun tetap ada jarak yang terasa---jarak budaya yang membuat Nisa sadar bahwa hidupnya akan berbeda jika ia benar-benar dekat dengan Umer.
Suatu sore, setelah lembur menyelesaikan laporan proyek, mereka duduk di balkon kantor yang menghadap pantai. Angin laut menyapu rambut Nisa, membuatnya sedikit terpesona.
"Bali memang indah," katanya sambil menatap laut.