Umer mengangguk. "Indah, tapi kadang orang lupa untuk benar-benar menikmatinya. Terlalu sibuk dengan pekerjaan."
Nisa tersenyum, menatap Umer. "Aku senang bisa bekerja denganmu. Rasanya lebih mudah menghadapi hari-hari panjang."
Umer menatapnya dengan tatapan hangat. "Aku juga. Kamu berbeda, Nisa. Aku suka itu."
Nisa merasa detak jantungnya meningkat. Chemistry mereka mulai terasa, tapi ia juga sadar bahwa cinta mereka akan menghadapi ujian---perbedaan budaya, kebiasaan, dan ekspektasi keluarga yang mungkin akan muncul di masa depan.
Malam itu, mereka berdua meninggalkan kantor, berjalan beriringan di sepanjang jalan yang diterangi lampu jalan. Suara ombak samar terdengar di kejauhan, membawa ketenangan di tengah tekanan pekerjaan. Dalam hati, Nisa tahu: ini bukan hanya persahabatan biasa. Sebuah kisah baru sedang dimulai.
BAB 3: AWAL KEDEKATAN DAN TANDA KONFLIK
Malam itu, setelah lembur panjang, Umer mengajak Nisa berjalan di tepi pantai Kuta. Lampu-lampu jalan dan suara ombak yang tenang membuat suasana terasa hangat dan berbeda dari kesibukan kantor.
"Bali memang indah," kata Nisa sambil menghirup udara laut yang segar.
Umer menatapnya. "Indah, tapi kadang orang lupa menikmatinya. Terlalu sibuk dengan pekerjaan, terlalu fokus pada hal-hal sepele."
Nisa tersenyum, merasakan kenyamanan saat berada di dekatnya. "Aku senang bisa bekerja denganmu. Rasanya lebih mudah menghadapi tekanan kantor."
Umer tersenyum, matanya berbinar. "Aku senang juga bisa mengenalmu, Nisa. Kau berbeda... dan itu bagus."