Hati Umer hancur. Ia ingin membela Nisa, tapi kata-kata keluarganya terasa seperti pedang yang menebas hatinya.
Nisa tetap diam, menunduk sopan. Ia tahu ini saatnya menunjukkan keteguhan.
"InsyaAllah, aku akan tetap berusaha menjaga rumah tangga ini dengan baik," ucapnya lembut.
BAB 14: DILEMA
Di kamar, Umer duduk termenung, wajahnya tegang. Telepon berdering---ayahnya menelepon dari Pakistan.
"Kau harus mendengar keluarga, Umer. Ini bukan soal cinta, tapi kehormatan keluarga," suara ayahnya tegas.
Umer menutup telepon, menatap Nisa yang sedang membaca di ruang tamu. Hatinya hancur. Ia mencintai Nisa, tapi terjebak di antara cinta dan loyalitas keluarga.
Nisa, yang menyadari perubahan sikap Umer, hanya tersenyum tipis. Ia tidak ingin menambah beban Umer dengan protes atau tangisan. Kesabaran menjadi senjatanya.
BAB 15: CAHAYA PEMBERI HARAPAN
Hari-hari Nisa dipenuhi kesendirian dan tekanan. Kadang ia menangis diam-diam, namun selalu menjaga wajah lembutnya di hadapan keluarga Umer.
Fiza terus menemaninya, memberi kekuatan dan semangat.
"Kamu kuat, Kak Nisa. Aku tahu ini berat, tapi cinta Kakak Umer nyata. Jangan biarkan mereka menghancurkanmu," kata Fiza.
Nisa menarik napas panjang, menguatkan diri. Dalam hatinya, ia berdoa:
"Ya Allah, berikan aku kesabaran dan keteguhan. Aku ingin mempertahankan cinta ini, meski berat."
Konflik terasa mencapai puncaknya-Umer terjebak antara keluarganya dan cintanya, Nisa menghadapi tekanan psikologis, dan Fiza menjadi satu-satunya cahaya yang memberi harapan.