Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hati Perempuan (Bagian 6: Memahami Lelaki)

29 Februari 2020   11:17 Diperbarui: 29 Februari 2020   11:23 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haribappeda.batangharikab.go.id

           Khalisa menatapnya sekilas lalu tersenyum dipaksakan. Teman macam apa aku ini, batinnya. Baru saja menasehati Trinita untuk menjauhi Mr. Baldi tapi tak bisa menolak permintaannya untuk mengantarkan menemui lelaki itu. Dalam hal ini dia tak bisa bersikap tegas seperti Ica. Hatinya selalu mendua diliputi keraguan. Menjaga perasaan mengabaikan keyakinannya sendiri. Membiarkan Trinita mengkhianati Pandu suaminya. Bekerjasama dalam menumpuk dosa. Mendadak kepalanya pusing. Apalagi bayangan Dion  mengganggunya sesaat. Trinita tahu kisahnya dengan lelaki itu tapi  dia  juga membiarkan Khalisa mencari jalannya sendiri untuk mengakhiri hubungan yang sia-sia itu.

          Kolokium berjalan lancar sepanjang hari itu. Berakhir sudah sore. Semua nampak letih meskipun masih tetap menyimpan pijar-pijar semangat yang tak pernah habis. Beberapa orang mendapatkan banyak kritikan dan masukan yang memaksanya untuk merevisi sebagian besar isi proposal. Sebagian besar telah siap dengan perencanaan yang matang sehingga proposal penelitian itu pun tak perlu banyak revisi.

          Pak Anwar termasuk salah satu orang yang beruntung. Tidak banyak revisi meskipun susunan proposalnya kurang sistematis. Ketika mempresentasikan di depan teman-teman kuliah dan mendapat banyak pertanyaan, dia nampak tidak menguasai materi yang dibawakan. Kejadian itu menimbulkan spekulasi bahwa dia melakukan kecurangan.

         "Aku heran kok bisa nggak direvisi. Sudah jelas banyak salahnya begitu,"  Ica berkata dengan kekesalan yang tak bisa disembunyikan.

         "Jangan-jangan dia sudah bayar Pak Amir. Dosen disuap biar jalannya mulus. Mungkin nanti yang buatkan tesis juga dosennya atau bayar orang lain," timpal Dini setengah berbisik.

         "Biasa Din, orang kaya. Di mana-mana duit berkuasa,"  tambah Rinta dengan wajah datar tanpa emosi.

        "Susahnya kita nggak punya jadi  harus benar-benar kerja keras," potong Trinita

         "Itulah keadilan Illahi. Kita nggak punya duit tapi pintar," sela  Khalisa mengakhiri percakapan mereka di sekitar ruang kuliah.

            Mereka tidak langsung pulang ke kos. Berpikir keras ternyata membuat lapar. Sepakat mereka mampir makan di rumah makan Padang satu-satunya yang ada di Bara. Warung Ampera yang menyediakan banyak pilihan lauk. Sebagai satu-satunya orang Padang Dini sangat gembira. Makan banyak dan puas setelah kenyang. Tidur lelap hingga pagi. Kebisaan makannya agak unik karena harus disesuaikan dengan kondisi keuangannya. Pagi-pagi biasanya dia membeli lontong sayur seribu rupiah ditambah gorengan bakwan atau tempe seharga lima ratus. Siang biasanya tidak makan. Sore menjadi pilihan waktu makan yang tepat untuk makan siang sekaligus makan malam. Kalau malam dia lapar dan sulit tidur karenanya, dia membaca  buku-buku tebal berbahasa Inggris yang sulit dipahami. Buku itulah pengantar tidurnya yang paling mujarab. Khalisa sering menggoda Dini sebagai pemakan buku. Kalau lapar berikan saja buku yang sulit dipahami isinya.

            Perkara makan memang sering diabaikan. Ica malah sering hanya makan sekali sehari. Dia pernah harus dirawat di RS karena kebiasaan makannya. Bukan tidak teratur makan tapi kurang makan. Teman-teman kuliah sering merasa heran. Sebenarnya Ica dan Dini sedang diet atau memang tidak punya duit. Khalisa yang ditanya hanya tersenyum tak menanggapi. Biarlah mereka tahu sendiri.

            Rinta yang badannya paling besar di antara mereka tak mempunyai kesulitan soal makan. Dia hanya sering malas ke luar untuk membeli makanan. Menahan-nahan lapar sampai ada teman yang mau menemani membeli makanan. Pernah dia mengeluh sakit. Semua yang dilihat seperti bergoyang. Matanya berkunang-kunang. Setelah makan gejala itu hilang. Baru dia tahu kalau itu pertanda lapar. Ternyata dia tidak sakit hanya kelaparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun