Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hati Perempuan (Bagian 6: Memahami Lelaki)

29 Februari 2020   11:17 Diperbarui: 29 Februari 2020   11:23 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haribappeda.batangharikab.go.id

            Tanpa banyak pertimbangan, Trinita memesan tiket pesawat ke Jakarta. Minggu pagi dia harus meninggalkan Pontianak supaya hari Senin bisa mengikuti kolokium. Dia harus mempresentasikan proposal penelitiannya untuk menyusun tesisnya nanti. Penilaian diberikan untuk penulisan proposal dan presentasi sehingga kalau absen tidak akan mendapat nilai. Tentu saja dia tak mau mempertaruhkannya dengan menuruti kemauan Pandu yang tak masuk akal. Biar saja kalau memang Pandu mengambil keputusan terburuk  untuk mereka. Trinita tak yakin Pandu berani menceraikannya. Bukankah dia bergantung pada Trinita hampir dalam segala hal?

           "Mama ke Bogor lagi?" tanya Uti ketika melihat Khalisa mulai memasukkan bungkusan oleh-oleh ke daalam kardus yang cukup besar.

            "Iya, kamu baik-baik di rumah sama Papa ya?"

            "Kapan Mama selesai?"

           "Setahun lagi."

           "Masih lama ya Ma?"

            "Nggak. Setahun itu sebentar kok," ujarnya menepis kesedihan di mata Uti. Ingin dilihatnya  binar di mata gadis kecilnya itu.

            "Nanti kalau Mama wisuda, Uti dan Papa ke Bogor," celotehnya menghapus keresahan Khalisa.

            Ketika tiba hari keberangkatan , Pandu dan Trinita masih belum bicara. Sendiri naik taksi ke bandara dengan travel bag, satu buah kardus berisi oleh-oleh dan hand bag yang cukup besar. Uang pas-pasan untuk hidup sebulan di Bogor. Hatinya merintih karena perih menjalani hidupnya yang stagnan. Bayangan Mr. Baldi seperti menjanjikan sesuatu. Tapi barangkali itu cuma mimpi semu. Meraih bahagia yang didamba setiap manusia  pun dilakukan walaupun begitu sulit. Setidaknya dia sudah berusaha untuk memperbaiki nasibnya dengan jalan yang ditempuh kini. Menuntut ilmu untuk memenuhi persyaratan minimal sebagai dosen program S1. Berharap ada peningkatan pendapatan untuk kesejahteraan ekonomi keluarga.

            Perjalanan panjang ditempuh sendiri meretas mega-mega putih di angkasa. Wajah Pandu, Uti dan Mr. Baldi berganti-ganti menghiasi mega-mega. Mereka merenda rasa beraneka rupa di batinnya. Pandu mencintainya dengan caranya sendiri. Cinta yang sama sejak dulu. Cinta itu mendapat ancaman dari bayang-bayang Mr. Baldi yang tiba-tiba membelokkan langkah Trinita dari alurnya yang biasa. Uti mengharapkan cinta kasihnya yang tak pasti. Sejak kecil kakak Pandu dan Kakak Trinita yang bergantian mengasuhnya. Trinita sebagai Ibunya justru kurang mendapat waktu untuk bisa merawat dan mengasuh anaknya sendiri. Hubungan mereka menjadi seperti adik kakak dibanding ibu anak. Konsekuensinya, Uti  menjadi kurang patuh padanya. Sementara itu Trinita kesulitan membaca isi hati Mr. Baldi. Ekspresi wajahnya yang acuh tak acuh seperti tak bersedia menyisakan sedikit tempat di hatinya untuk Trinita. Padahal sesungguhnya Trinita bisa menemukan tempat itu dengan mudah. Merasa nyaman berdiam di sana meski tak bisa selamanya.

            Sesampainya di bandara Soekarno Hatta, Trinita berpindah naik bis Damri ke Bogor. Keletihan yang dirasakan belum juga sirna ketika bis bergerak meninggalkan bandara. Membaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Berkejaran dengan waktu mengantarkan penumpang ke tujuan terakhirnya di terminal Damri di seberang tugu Kujang. Dari sana masih dua kali naik angkot. Karena bawaannya lumayan berat dia memilih menyarter angkot sehingga tidak harus direpotkan oleh bawaannya. Ongkosnya juga tidak terlalu mahal. Kalau saja di Bogor ada taksi akan lebih baik. Bisa lebih nyaman meskipun tetap saja lama sampai di tempat tujuan. Ratusan angkot yang memenuhi jalanan menimbulkan kemacetan rutin setiap saat. Jadi naik apapun tetap saja terkendala macet kecuali naik helikopter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun