Awal perkenalan dengan Pak Akbar ini kemudian  memberi warna pada kehidupan Khalisa selanjutnya. Seperti lembar kain warna-warni, kehidupan Khalisa menambahkan satu warna lagi. Entah sebaiknya diberi warna apa.
Sewaktu  mengikuti sidang doktor di gedung rektorat,  Pak Akbar  duduk di sebelahnya. Mengamati sekilas judul proposal penelitian Khalisa yang baru selesai dijilid. Setelah pimpinan sidang mengumumka kelulusan, semua yang hadir dipersilakan menikmati makanan yang disediakan. Di luar ruang sidang sudah disiapkan hidangan prasmanan. Mulai dari makanan un kepembuka hingga hidangan penutup.  Sidang doktor sering diakhiri dengan acara makan-makan seperti layaknya pesta pernikahan di gedung  Mestinya wujud rasa syukur tidak harus selalu dengan makan-makan  tapi tradisi  itu  terus berlanjut dari tahun ke tahun. Calon doktor harus menyediakan dana lebih untuk tradisi semacam itu. Bahkan untuk tingkat master pun, sejak seminar sudah harus menyediakan dana untuk snack bagi peserta yang hadir. Ketika ujian tesis , di samping menyiapkan mental dan ilmu juga harus membelikan bingkisan makanan dan parcel buah-buahan untuk para penguji. Tidak ada aturan tertulis memang. Taps begitulah tradisi warisan para pendahulu yang terus dilestarikan hingga saat ini.
       "Ayo, waktunya makan!" ajak Pak Akbar  kepada Khalisa dan Dini tetapi kemudian dia lebih memperhatikan Khalisa. "Mau makan apa Bu Lisa?"
      Khalisa berdiri dalam antrian untuk mengambil sup asparagus. Kelihatannya semuanya sudah lapar. Wajah-wajah mereka mengisyaratkan nafsu makan yang tak tertahankan. Mudah-mudahan saja hidangan yang disediakan sanggup memuaskan  rasa lapar mereka. Gubuk-gubuk makanan menanti didatangi Berganti-ganti para pemburu makanan gratis menghampiri berbagai jenis hidangan yang tersedia di situ.
      "Sudah sore ya?" gumam Khalisa di sela-sela makan.
      "Nggak apa-apa. Angkot 24 jam," sahut Pak Akbar.
      "Tapi jalanan di kampus gelap dan sepi kalau malam. Saya pernah pulang dari perpus jam sembilan, wah tai-carikut saya. Untung ada teman laki-laki yang barengan ke luar."
      "Ajak saya saja kalau mau ke perpus malam-malam," kata Pak Akbar
      "Maunya Bapak ini," ledek Dini.
      Mereka pulang menjelang Maghrib. Naik angkot bertiga dibayari Pak Akbar. Dini dan Khalisa turun lebih dulu sebelum jembatan Caringin. Pak Akbar turun setelah jembatan dan harus melanjutkan perjalanan dengan satu kali naik angkot lagi sampai ke rumah kontrakannya.
      Setelah dua kali pertemuan itu, Pak Akrab menjadi sering mencari-cari alasan untuk ke kosnya. Biasanya pura-pura mencari Dini. Karena dari teras rumah bisa melihat ruang tengah dan siapa saja yang lalu lalang ke luar masuk kamar, maka keberadaan Khalisa di rumah pun bisa diketahui. Kadang-kadang teman sekos ikut bergabung menemuinya karena semua sudah mengenal Pak Akrab.