"Makanya jangan ajak orang tua kalau jalan kaki.  Harusnya naik mobil," tambah Khalisa .
      Rute yang ditempuh seperti biasa adalah menuju terminal Bubulak baru dilanjutkan ke terminal Baranang Siang. Perjalanan itu masih diperlambat oleh kemacetan memasuki kota Bogor. Jam-jam sibuk di pagi hari adalah ketika anak-anak berseragam sekolah memenuhi angkot. Para karyawan yang bekerja di Jakarta membutuhkan angkutan untuk membawa ke stasiun atau terminal. Puluhan angkot bersaing mendapatkan penumpang. Tak peduli berapa banyak penumpang yang bisa diangkut. Semua angkot seperti laron-laron yang beterbangan  pada pagi pertama di  musim hujan. Banyak tapi harus bertahan agar tidak terkapar sekarat karena kehilangan kekuatan setelah bulu-bulunya terlepas. Sama seperti angkot yang dikemudikan sopirnya  dengan harapan selalu penuh penumpang. Padahal ada beberapa rute yang sepi tapi sopirnya harus tetap bertahan demi sesuap nasi.
      " Ayo cepat turun!" Ica memberi komando, "Itu bisnya sudah ada. Biar dapat tempat duduk. Nanti penuh lho."
      "Kita bisa melanjutkan tidur kayaknya," suara Trinita menggambarkan kegembiraan.
      "Kamu kurang tidur ya semalam?" tebak Khalisa.
      "Pasti itu. Sudah nggak tahan pengin ketemu pacar," ledek Ica .
      Seperti niatnya semula, Trinita menitipkan uang untuk membayar bis kepada Ica lalu mengambil posisi yang nyaman untuk tidur. Tinggal Ica dan Khalisa yang tersadar mengawasi keadaan sekitar. Pedagang asongan yang naik turun menyita perhatiannya. Mereka perlu mengisi perut dengan makanan yang mengenyangkan.
      "Kok nggak ada yang jual donat ya?" keluh Ica sambil celingukan ke kanan kiri.
      "Apa nggak ada yang jual nasi kuning apa nasi langgi gitu ya?" Khalisa menimpali seraya melongokkan wajah untuk melihat pedagang asongan di luar .
      "Atau nanti kita makan di Jakarta saja sebelum ke kantor Mr. Baldi?" usul Ica menyudahi pencariannya.
      "Itu ada yang jual bakpau. Beli aja Ca buat ganjal perut dulu."