"Iya, betul tapi lumayan juga.  Sekitar dua juta."
     "Dari mana uangnya? Tabungan juga nggak punya. Masak harus cari pinjaman?" keluh Khalisa.
     "Jangan dipikir sekarang. Bikin pusing ," potong Trinita. "Sudah siap power point buat presentasi besok?"
     "Baru saja selesai kubuat tadi, kamu?"
     "Nanti malam baru buat. Konsentrasiku pecah gara-gara Pandu," keluhnya antara sedih dan kesal.
     "Tapi sudah damai sekarang?" selidik Khalisa.
     "Damai gimana ? Kami masih diam-diaman," sahutnya lirih.
    "Kok jadi serius begitu masalahnya."
    "Iya Mbak, aku harus bagaimana?" keresahan meliputi wajah Trinita.
    "Pilih saja yang terbaik buatmu. Kalau nggak mungkin dapat Mr. Baldi ngapain juga menyiksa diri. Sampai kamu diancam mau dicerai Pandu. Padahal arah hubunganmu dengan Mr. Baldi nggak jelas juga.  Sudahlah Ta, lupakan saja Mr. Baldi. Kembali ke Pandu dengan sepenuh hati."
     Trinita menggeleng lemah, matanya berkaca-kaca. Bagi Khalisa itu sangat aneh. Kepuasan semacam apa yang diperoleh Trinita dari Mr. Baldi? Dia sungguh tak mengerti ada perempuan yang begitu mencintai sosok Mr. Baldi. Apakah karena keenceran otaknya atau sikapnya yang terlihat tak peduli tapi diam-diam ternyata penuh perhatian? Hanya Trinita yang tahu. Menyimpan sendiri kekaguman, kecintaan dan kerinduan kepada seorang lelaki yang sudah beristri. Mengindikasikan tak boleh diganggu. Namun bagi perempuan berhati keras seperti Trinita, itu merupakan sebuah tantangan yang harus ditaklukkan.
      "Aku bawa oleh-oleh untuk dia Mbak. Minggu depan mau antar ke Jakarta. Mbak anterin aku ya !" pintanya tanpa sedikit pun merasa bersalah.