Malam itu, ia kembali berjongkok membenamkan tubuhnya di antara lutut.
Mala itu artinya bencana. Mala itu artinya kemalangan. Ia tak mau disebut begitu, sebab ... rentetan kesengsaraan satu-satu perlahan timbul, menyeruak dari garis hidupnya. Akan tetapi jika saat nama Mala membuat Mama dan Kisan senang ia tak begitu merasa keberatan. Sesuka hati mereka, sesenang hati mereka, sebab mereka merupakan alasan yang membuat Kamala merasa bahagia.
Semua berlanjut pada sebuah kegelapan panjang. Mimpi-mimpi yang tadi diceritakan percabangan pikiran dalam kepalanya lamat-lamat mulai berusai. Mimpi-mimpi buruk yang membuat Kamala takut tak kepalang. Jiwanya yang tengah bertamasya berproses memasuki tubuh dengan pelan.
Mata Kamala mengerjap berkali-kali. Bau tanah dan darah langsung menyengat kuat.Â
Ia tengah berbaring telungkup. Belukar tinggi merupakan panorama yang menyambutnya. Daun-daun kering, tanah merah dan ranting kayu memenuhi tiap inci tubuh. Jaket hitamnya koyak dibareti ranting dan dedurian tajam. Celana katun berwarna putih yang melekat di tubuh banjir darah, kaya akan warna merah.Â
Kecelakaan tadi membuatnya jatuh terperosok jauh.
Kamala terbatuk, darah segar ikut terbawa ke luar. "T-tolong ...." cicitnya. Matanya kembali memberat. Ia mengerang keras merasakan sakit yang tak mampu ia tanggung lagi. Wajahnya terluka, bahunya terkilir.Â
Damat gaduh suara langkah kaki orang yang jumlahnya lebih dari satu menginjak-injak ranting-ranting dan dedaunan kering. Kamala tergeletak di dekat pohon jeungjing yang luhur.
Berbuah sinar senter menyorot tubuh Kamala yang sangat sakit. Kamala merasa silau, ia mengernyit.
"Jen, lekas bedah dia dan ambil ginjalnya." redam suara Arka menggodam rungu. Adrenalin menjamahi kepala. Ia berusaha kabur dengan menyeret tubuhnya dengan tangan. Kakinya mati rasa.
Jagat semesta tak berbelas kasih, tubuh Kamala diangkat tak manusiawi membuat sang empu berteriak keras.Â