"La, Damar mau pulang ke rumah." Di atas dipan kayu yang terletak dekat saung kecil di halaman rumah Indra, ada Derana yang mendadak bicara dengan gaya berbaring mirip orang yang tengah berjemur di pantai Kuta.
Perempuan itu kini menjatuhkan dirinya di atas hamparan rumput hijau tipis yang beraroma embun pagi. Lalu berguling-guling dengan segala kemalasan yang dimilikinya.
Jengga sedang berjalan sambil menenteng gunting rumput yang dipinjamnya dari gudang. Ia mendengarkan ucapan Derana sambil mulai memangkas rumput yang bentuknya kurang rapi. Ia sudah izin ke Mama Indra untuk memangkas rumput, jadi tidak apa-apa.
"Dia masih sering sedih ngga, Na? Kabarnya apa baik-baik aja?" tanya Jengga sambil mencomot seekor ulat yang didapati sedang rakus memakan daun.
"Boro-boro. Setiap hari apartemennya sepi banget, lebih rame kandang Titi malahan. Tadi dia jatuh. Luka. Semaleman demam." jawab sang pemudi sekenanya.
Jengala Sukma menghentikan aktifitasnya, "Lho? Aku pikir dia bakal lebih leluasa saat pindah ke apartemen dan tinggal sendiri. Nyatanya enggak, ya?"Â
"Enggak." Derana menimpali.
"Dia butuh teman, dia butuh diajak bicara, setidaknya dalam yang waktu dekat dia harus bisa meluapkan isi hatinya." lanjut sang pemudi yang kini tengah mengambil posisi bersila.
"Dia kan punya Sura, Na? Kisan juga kayaknya gampang deh diajak ngomong kalau aku mau curhat." tanya Jengga dengan penuh selidik. Matanya memandang Derana yang nampak cuek mencabut rumput dan memasukannya ke dalam mulut.
"Sura udah tau kali." Derana menghilang dalam sedetik, setelahnya muncul kembali di sisi Jengga dengan jari-jari piasnya yang mencoba menyentuh daun-dauh hijau yang begitu sehat.
Jenggala memekik kaget, suaranya mendadak dramatis. "Hah?! Tahu apa?!"Â