Ada jeda sebelum Kisan melanjutkan ucapannya.
"Aku pinjam kamarmu sebentar, ya? Pengen ngobrol aja, kangen."Â
Kursi kecil yang berada di bawah meja belajar Kisan tarik ke luar. Ia lalu menduduki kursi itu dan meletakkan kertas yang ia bawa di atas meja.
Terdengarlah suara sang kakak yang mati-matian mencoba menghubungkan komunikasi yang sempat terputus.
"Di sekolah ada yang ngasih aku sapu tangan. Orangnya baik tau, Mal. Tebak siapa namanya?" Dengan piawai Kisan membongkar plastik pembungkus. Selembar kertas ia tarik, tangannya mulai melipat-lipat kertas hingga akhirnya membentuk sebuah bangau yang begitu rapi.
"Namanya Nirmala." Menyebut namanya saja sudah bikin hati Kisan berbunga.
"Dia ngebordir sapu tangannya pakai nama aku. Bagus banget, kamu pasti iri." Kisan terkikik bersamaan dengan sebulir air mata lolos dari matanya.
Basa-basinya sudah cukup, ia tak kuat beramah-tamah sementara aura di kamar ini begitu membuat lehernya tercekik.
"Mala, maaf selama ini aku selalu ngerepotin kamu. Nyebelin ngga sih punya kakak harusnya kan kuat, ngga cengeng, ngga rusak kaya aku."Â
Dada Kisan sesak kala matanya menemukan foto masa kecil Kamala yang tercecer di pojokan meja. Kisan mengambil salah satu foto itu. Bibirnya tersenyum tapi hatinya tak ikut berbahagia.
Kamala tersenyum begitu lebar. Senyum itu lagi, senyum yang begitu menusuk hatinya bak hujaman belati.