"Aku punya firasat, kedepannya kita akan banyak bertemu. Aku juga punya firasat, kehadiran aku bisa begitu berharga di sini tapi begitu gak berguna di rumah aku sendiri."
"Sebelum ada janji-janji yang terucap di bibir penuh cela punyaku, aku hanya mau memperingati sebelum situasi kedepannya malah bikin kamu tambah sakit dan bikin terlena sama bayang-bayang kenyataan."Â
"Ki, aku tuh bukan Kamala tahu ... meski mungkin menurutmu kami mirip tapi aku beda lho sama dia, Ki."
"Aku bukan Kamala dan Kamala bukan aku. Mendelusikan segalanya dan bikin hati kamu terbohongi apa ngga bikin capek? Apa Kamala ngga akan marah dan menuntut pembalasan ke aku kalau tahu secara gak langsung aku ambil posisi dia dalam keluarga? Aku ngga sekuat Mala, Ki ... aku yakin Kamala bukan orang tersisih di keluarga macam aku."
"Untuk sekarang ayo kita kenalan dulu. Bukan dengan nama Kamala, tapi dengan namaku sendiri."
Kisan menggeliat tak nyaman, jemarinya yang digenggam Damara mendadak bergerak dan merematnya kuat.
"Kisan, namaku Jeremiah ..." tukas Damara.
"Aku memang bukan saudara kamu dan mungkin memang bukan tempat sepatutnya untuk berbagi cerita. Tapi kalau kamu mau coba untuk berkisah, jangan sungkan untuk membaginya sama aku. Setidaknya biar beban yang menumpuk di hati kamu berkurang, Ki."
"Aku ngga keberatan kok, setidaknya dengan kamu bisa menerima aku sebagai sosok Jeremiah dan mulai jujur sama realita itu semua udah bikin aku, semesta dan Kamala senang. Soalnya kalau kamu ikhlas kita bisa sembuh bareng-bareng. Barangkali, kalau kita menghadapinya bersama rasa sakit saat Peri Penyembuh menyuntikkan obatnya ngga akan begitu terasa. Soalnya kita berdua, kamu yang berjuang untuk saudara kamu, dan aku yang berjuang untuk Bunda. Ayo jadi kuat!"
"Tumbuhlah, mari kita tumbuh meski pasti kedukaan senantiasa mengekori langkah."
"Kisan, ayo sembuh ..." Damara mengenyahkan rambutnya yang menutupi mata.