Lelaki itu mencari kursi dan langsung mendudukan diri lanjut berdoa dan melahap sambal kemangi serta ayam kremes dengan sepenuh hati. Meski sudah dingin dan tak lagi hangat, rasa sedapnya tak luntur. Enak sekali.
Derit pintu membuat Kamala menoleh. Arkais menampakkan setengah tubuhnya, iris gelapnya menusuk wajah Kamala.
"Ikut Papa." Pria itu tak mengindahkan Kamala yang tengah melakukan santap malam. Dengan keotoriteran dan segala keangkuhan nada suaranya menitah untuk mengikuti langkahnya.
Punggung Kamala mendingin. Rasa pedas dan nikmat kini telah pudar sepenuhnya digantikan dengan rasa kecut dan takut yang menggila. Arkais yang sudah mengenakan piyama berjalan menuruni tangga diikuti Kamala di belakang.
"Buat ulah apa lagi kamu hari ini? Jagat itu anak kolega papa dan kamu malah mencari-cari perkara? Dasar! Bisanya hanya buat malu dan mencoreng nama baik keluarga. Contohlah Kisan. Dia anak penurut dan tak banyak polah seperti kamu." hardik Arkais pedas. Ia melangkahkan kaki menuju tempat penyimpanan.Â
Kamala menunduk dalam. "Maaf, Pa. Maaf, Kamala keliru. Besok akan Mala beri tiketnya." cicitnya pelan.
Arkais menatap Kamala dengan jijik, ia memutar kenop pintu dan mendorong bahu Kamala agar masuk ke ruangan gelap itu.
"Ini hukuman. Membusuklah kamu dalam gelap." Arkais menutup pintu lantas menguncinya. Suara geremengan Arka terdengar jelas oleh Kamala yang masih disesaki perasaan kaget.
"Matinya lama sekali, kalau aku bunuh cepat-cepat uangnya tak akan mengalir lagi." Ketukan langkah Arkais terdengar menjauh.
Sayup-sayup, sang Papa kembali bicara meski kini tak sejelas tadi. "Jihanna, anak satunya lagi jangan sampai dia buang cepat-cepat."Â
Kamala tak berani berontak dan berteriak. Ia beku di tempat. Tangannya menyentuh lapisan kasar pintu yang kaya dihinggapi debu. "Aku gak suka jadi manusia." lirihnya mampu didengar oleh sofa-sofa dan perabotan tua yang hanya bisa menjadi saksi bisu.