Jelas lah! Jelas ada masalah, Kisan masalahnya! Damara berteriak dalam hati.
Tentu Damara tak mengatakan itu, ia hanya menggeleng dan berucap, "Nggak papa, Sur. Lagi pengen gini aja." Sura lalu mengangguk, tapi hatinya tahu ada yang salah di sini.
Oh iya, tahun depan mereka sudah masuk sekolah menengah dan meninggalkan masa putih-biru yang penuh petaka dan bencana. Di masa putih kelabu Kisan sering sekali mengamuk, hal-hal remeh sekalipun dapat memancing sisi lain dirinya jika itu berhubungan dengan Kamala.
Karena kejadian mengamuk itu terus beruntun, setiap kali Kisan mengamuk Saki pasti akan memisahkan Damara dan Kisan, waktunya tak bisa ditentukan saat Kisan mulao tenang baru Damara akan kembali ke kedimanan Aswangga.
Kenapa ia kembali? Sebab saat masuk SMA, Damara tak tinggal bersama Syakira lagi. Ia tinggal di sebuah apartemen yang letaknya tak jauh dari sekolah maupun kediaman Aswangga. Setiap bulan ia diberi uang saku, jumlahnya besar, syaratnya hanya satu, yakni tetap jadi Kamala maka uang akan terus mengalir. Sekali lagi, hal ini yang memutuskan adalah seorang Arkais. Ia telah pulang dari perjalanan bisnisnya. Keputusan ini bikin Damara mabuk dalam pikirannya. Hidupnya berasa terombang-ambing. Lempar sana lempar sini.
Kala Damara tinggal sendiri di apartemen ia bisa sedikit mengusap dada. Soalnya di sini ia bisa jadi diri sendiri, tak merasa dituntut dan tak ada yang menuntut.
Damara pikir, Kisan itu aneh. Kelakuannya serba-serbi. Sekarang ia mengamuk, keesokannya seperti sedia kala lagi, lalu malamnya mendadak sadar jika saudaranya telah mati. Contohnya seperti hari ini, barusan Kisan pulang lebih dulu ke rumah, lalu setelahnya Damara datang karena memang mereka jarang pergi atau pulang bersama lagi.
Jantung Damara nyaris copot. Kisan tengah membakar dupa di depan pigura Kamala. Geremengan suaranya tak bisa Damara dengar semua tapi ia menangkap sepenggal kalimat.
Kamu yang tenang di sana, katanya.
Sepertinya ada yang aneh di diri Kisan. Ada yang salah di sini.
*