"Ma, piguranya jangan di taruh di sini dong. Tempatnya terlalu gelap kalau di ruang tamu. Pindahin ke kamar Mala aja ya, Ma? Biar nanti Mala bisa senang dan sering main ke sini."
Syakira memaksakan senyumnya tercetak dan malah nampak seperti topeng yang rusak. Di sisi lain ia senang dan terharu melihat Kisan bisa terbuka dan banyak angkat suara, ini adalah sebuah kemajuan yang amat sangat berarti bagi seorang ibu. Meski setelahnya ada sisi di mana polah yang dibuat Kisan sekarang begitu memainkan hatinya yang kini telah mati rasa.
"Nanti Mama taruh foto Mala yang ini di kamarnya. Tapi Kisan harus janji, foto milik Kamala jangan dibanting lagi ya sayang .... Nanti Mala sedih masa fotonya dihancurin terus."
"Iya, Ma. Janji." Kisan menyanggupi. Sekarang ia menarik sekuntum lily putih yang penuh kesetiaan terus bertengger di atas meja menemani potret Kamala yang dibalut pigura.Â
Selepas itu Syakira tersenyum singkat dan menyugar helai rambut Kisan menggunakan tangan. Ia tak tahu apa yang tengah dipikirkan anaknya kini, tetapi semoga saja segalanya dapat membaik. Secepatnya.
"Mama mau ke dapur dulu, Kisan mau makan lagi nggak?"Â
Kisan masih terus menghidu aroma sereh yang begitu membuatnya gila.
Entah karena aromanya memang begitu disukai Kisan atau mungkin karena segala bebauan sereh memiliki memori penting yang bersinggungan dengan kehidupan adiknya.
"Kisan cuma mau ngobrol sama Mala dulu. Makannya nanti aja."
Syakira terdiam selama beberapa detik, ia mengangguk. Kemudian berlalu begitu saja menuju dapur. Mempersibuk diri ketimbang harus berdiam dan mengisi pikirannya dengan kenangan menyesakkan hati tentang sang putra yang telah pergi.
Sepeninggal Syakira, saat ini Kisan hanya sendirian bertemankan pigura adiknya dan sebuah dupa yang masih menyala.