Mohon tunggu...
Shabilla Putri Bintang Pratama
Shabilla Putri Bintang Pratama Mohon Tunggu... XII MIPA 5

Salam sejahtera untuk semua rekan-rekan pembaca dan penulis. Mari saling berinteraksi guna meningkatkan literasi di negeri tercinta kita ini!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kereta Terakhir

20 Februari 2022   10:46 Diperbarui: 21 Februari 2022   20:20 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-

Dini hari Damara terbangun karena kehausan. Ia menyadari bahwa dirinya kini tengah berada di atas sebuah kasur. Matanya memicing membiasakan akan cahaya dari lampu yang begitu menyilaukan. Sebuah selimut bulu terhampar di atas tubuhnya. Di sofa Damara lihat ada Syakira dan Amel yang tengah tertidur dalam posisi duduk. 

Damara menjadi merasa tidak enak dan terlalu merepotkan sekarang.

Maka setelahnya Damara pun turun dari pembaringan bersamaan dengan Kisan yang mengigau kembali menyebut nama yang masih asing di telinga Damara.

"Mala ... Mala ...." katanya.

Karena rasa penasaran begitu membuncah tanpa terasa kaki Damara melangkah menghampiri kursi yang ada di samping brankart Kisan. Ia duduk di sana tanpa suara.

Dahulu, saat Damara demam tak ada yang mengurusinya pengecualian ketika Panji tengah berada di rumah. Jihanna tak pernah merasa sudi untuk menapaki kaki jenjangnya di depan pintu kamar Damara yang temaram. Sekali waktu memang Kinanti selalu datang menjenguk, membawakan banyak boneka untuk kemudian dipakai untuk bermain bersama. Damara tak merasa keberatan, tapi yang memberati hatinya adalah ketika penghasuh Kinan datang tergopoh-gopoh dan menghalau segala kebahagiaan yang baru saja tercipta. Nampaknya Jihan terlalu khawatir Kinanti berdekatan dengan seorang Jeremiah. Maka dari itu, Damara paham betul apa arti kesepian saat tengah sendirian melawan rasa sakit.

"Kata Mama, nama kamu Kisan." Damara menggenggam tangan Kisan yang begitu panas seperti sengatan mentari di siang bolong. "Aku masih sungkan manggil beliau Mama, tapi aku gak mau tinggi hati dengan menolak permintaan beliau." 

"Aku turut berbelasungkawa atas kepergian saudara kamu. Aku juga minta maaf. Perlakuanku tadi kasar banget ke kamu."

"Merasa ikhlas kadang memang susah sih. Tapi kuharap kamu bisa tegar dan bisa menjalani hari-hari selanjutnya dengan kembali damai. Perpisahan memang selalu mengigit hati, aku tahu rasa pedihnya sesakit apa. Tapi aku juga ngga tahu sih kalau dampaknya bisa sebesar ini buat kamu. Kamala pasti saudara yang baik ya, Ki? Aku iri, kayaknya kamu ngga pernah kesepian pas tidur. Kamala pasti anak yang asyik."

"Kisan, aku turut sedih lihat keadaan kamu. Tapi, aku bukan saudara kamu, Ki. Aku bukan Kamala." Damara menunduk dalam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun